www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-06-2020

Through welfare to liberty,” demikian kira-kira ‘motto’ dari Friedrich List (1789-1846), salah satu ‘raksasa’ ilmu ekonomi yang sering dilupakan terlebih dibandingkan dengan Adam Smith , Karl Marx. Apa yang dapat kita lihat dari pandemi coronvirus ini adalah ternyata orang-orang terdekatlah yang mana kita bisa pertama-tama bergantung. Keluarga dan orang-orang sekitar kita. Bahkan mungkin kita tidak ‘mengenal’nya, tetapi adanya orang sekitar yang ikut diam di rumah bisa membuat kita merasa aman. Sebaliknya, jika orang-orang yang dekat dengan kita, tetapi terpaksa diam di rumah nun jauh di sana, kita juga akan gelisah, mengapa tidak bersama-sama di rumah dan melawan kejenuhan bersama? Melawan ancaman virus bersama. Di tingkat negara, tentu dimungkinkan sekali untuk saling membantu antar negara. Tetapi kita juga bisa melihat, pada akhirnya negara itu sendirilah yang akan ‘sibuk sendiri’ demi berhasil melawan pandemi dan segala masalah turunannya. Bagi warganya, setelah keluarga dan sekitarnya, negara-lah yang juga akan menjadi harapan.

Coba kita bayangkan jika coronavirus dalam pertempuran manusia vs virus itu kemudian mensyaratkan manusia tidak boleh bekerja sama satu sama lain. Satu-lawan-satu layaknya hukum rimba. Bisa-bisa yang tersisa yang kebal saja. Itupun masih harus menghadapi virus yang mungkin saja bermutasi, atau ‘virus yang paling fit’-lah yang berkembang biak. Betul-betul akhirnya yang paling fit-lah yang akan bertahan, baik manusia atau virusnya. Bagi manusia, paling fit dalam imunitas atau paling fit dalam kemampuan membayar bermacam perlindungan. Tetapi kan tidak begitu. Sejak jaman purba, selain juga saling bunuh, manusia mengembangkan bermacam bentuk relasi, kerja sama satu sama lain. Dan itu yang membuat ia bertahan dan berkembang.

"They are casting their problems at society. And, you know, there's no such thing as society. There are individual men and women and there are families. And no government can do anything except through people, and people must look after themselves first. It is our duty to look after ourselves and then, also, to look after our neighbours," demikian kata Margaret Thatcher dalam suatu wawancara di tahun 1987. Dan berkembanglah apa yang kemudian dikenal sebagai ‘ultra-minimal state’ itu. Yang semakin jelas di tiga tahun setelah wawancara Thatcher tersebut dengan munculnya Konsensus Washington. Pasar bebas ala neoliberalisme. Atas nama ‘liberty’, ‘through liberty to welfare’. Katanya.

Maka jika disederhanakan, antara Adam Smith (1723-1790), Friedrich List (1789-1846), dan Karl Marx (1818-1883) sedikit banyak dapat terbedakan pada letak peran negara. Tentu argumentasinya masing-masing sangatlah luas dan dalam, dan bahkan mungkin soal negara hanya bagian kecil saja dari teori-teori mereka. Pada tulisan ini lebih ditekankan soal negara, mengapa? Karena sederhana saja, selain mempunyai bermacam kemampuan membuat peraturan-perundangan, ia juga mempunyai hak monopoli atas penggunaan kekuatan kekerasan. Juga dengan adanya negara, bukankah warganya sudah dengan sukarela menyerahkan sebagian dari kebebasannya? Apa timbal baliknya?

Dari respon negara-negara dalam menghadapi ‘serangan survival of the fittest’ coronavirus ini kita bisa belajar banyak. Dan jika dalam menghadapi virus ini kita adalah ‘infant industry’ (karena katakanlah belum ada vaksinnya) yang masih rentan terhadap ‘serangan survival of the fittest’ coronavirus, negara-negara yang dikelola dengan cerdas dalam ‘pengalokasian sumberdaya’-lah yang nampak berhasil menekan angkan penyebaran sekaligus kematian. Dan kemudian mempunyai kesempatan lebih dalam menghadapi dampak sosial-ekonominya. Tentu soal data-data kita harus kritis juga. Brasil misalnya, setelah angka penyebaran dan kematian nampak meningkat pesat, maka angka-angka dalam data-pun perlahan di-umpetin. Ada juga negara yang sejak awal sudah main-main dengan data. Tetapi apapun itu, masih banyak negara-negara yang jujur dengan data-datanya. Apa adanya. Dan dari situ kita bisa belajar banyak.

Maka bagi List, teori Adam Smith adalah juga bagian dari propaganda dari yang sedang duduk di puncak saat itu, inggris. Tetapi bagi Engels, apa yang dipikirkan oleh List adalah “still the best that German bourgeois economists have produced.[i] Yang terkait dengan proteksi (untuk golongan ‘infant industry”) melalui tarif misalnya, Engels khawatir itu hanya akan melahirkan ‘artificial proletariat’ saja.[ii] Yang tentu ini kagak bakalan revolusioner, mungkin yang dipikirkan Engels.

List sama dengan Marx adalah orang Jerman. Tetapi List lebih ‘melanglang buana’ dibandingkan Adam Smith dan Karl Marx. Pengalaman-pengalaman dan persahabatannya dengan tokoh-tokoh pemikir setempat selama di Inggris, di Perancis, di Jerman sendiri, dan di Amerika mau-tak-mau membentuk ‘konsep-mental’ yang akan mempertajam intuisinya. The National System of Political Economy  yang merupakan karya puncaknya terbit di tahun 1841. Lima tahun sebelum ia meninggal karena bunuh diri. *** (08-06-2020)

 

[i] Eugen Wendler, Friedrich List (1789-1846), A Visionary Economist with Social Responsibility, Springer, 2013, hlm. 207

[ii] Ibid

Akhir Dari "Ultra-minimal State? (1)