Ruhollah Mostafavi Musavi Khomeini (24 September 1902 – 3 June 1989) -kita kenal sebagai Ayatollah Khomeini, adalah pemimpin Revolusi Iran yang berhasil menumbangkan Mohammad Reza Pahlavi (Shah Iran) pada tahun 1979. Selama pengasingannya di Paris, Perancis, Khomeini terus melakukan perlawanan terhadap Shah Iran. Pada kesempatan ini, kita bisa belajar bagaimana perlawanan Khomeini dalam konteks ‘perang media’, berangkat dari penjelasan Alvin Toffler.
Alvin Toffler kita kenal melalui triloginya, Future Shock, Third Wave, dan Power Shift. Future Shock terbit pertamakali di AS tahun 1970 dan Third Wave sepuluh tahun kemudian, 1980. Yang menjadi acuan tulisan ini adalah buku ketiga, Power Shift. Knowledge, Wealth, and Violence At the Edge of the 21st Century, pertamakali terbit tahun 1990. Prinsip dari ‘perang media’ dalam tulisan ini adalah berangkat dari pendapat Toffler mengenai tiga gelombang revolusi komunikasi.
***
Dalam perkembangan historisnya, Alvin Toffler membedakan secara jelas tiga model komunikasi yang berbeda.[1] Dengan banyak penyederhanaan, menurut Alvin Toffler, dalam Gelombang Pertama (First Wave) perkembangan masyarakat atau dalam masyarakat agraris, semua komunikasi adalah melalui mulut-ke-telinga (mouth-to-ear) dan muka-ke-muka (face-to-face) serta terjadi dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam dunia tanpa surat kabar, radio atau televisi, satu-satunya cara sebuah pesan sampai ke massa adalah dengan membentuk kerumunan (crowd). Maka kerumunan atau crowd ini pada dasarnya adalah medium komunikasi massa (media massa) yang pertama. Permasalahan dengan medium komunikasi massa melalui kerumunan ini adalah hal itu hanya dapat berlangsung dalam waktu singkat saja.
Jika pada Gelombang Pertama kesejahteraan dibangun berdasarkan aktifitas bidang agraris, pada Gelombang Kedua (Second Wave) kesejahteraan adalah berdasarkan produksi (pabrik) massal. Maka ini memerlukan bentuk komunikasi yang dapat menjangkau lebih jauh seperti pos, telegraph, dan telepon. Tetapi Gelombang Kedua dengan produksi massalnya juga memerlukan kekuatan kerja yang sama atau homogen, dan karena itu juga dikembangkan teknologi untuk media massa. Surat kabar, majalah, film, radio dan televisi berkembang dan mereka semua mempunyai kemampuan membawa pesan yang sama bagi jutaan audiens-nya. Mereka, surat kabar sampai dengan televisi itu akhirnya menjadi alat utama dalam masyarakat industrial.
Dalam Gelombang Ketiga (Third Wave), perkembangan komunikasi massa merupakan refleksi dari masuknya ekonomi post-mass-production. Produksi massal dengan semua ke-seragam-an menjadi kedaluarsa digantikan dengan produksi yang memperhatikan selera pada segmen-segmen sempit seperti kategori umur, profesi, etnik atau kelompok-kelompok gaya hidup tertentu. Informasi dapat diubah, diproduksi atau di”permak” oleh audiens sesuai dengan selera masing-masing.
Gelombang Pertama model komunikasi massa, mouth-to-ear atau face-to-face kadang disebut sebagai model komunikasi massa man-to-man. Sedang pada Gelombang Kedua, pada masyarakat industrial sebagai man-to-mass dan dalam ekonomi post-mass-production pada Gelombang Ketiga kadang disebut sebagai komunikasi massa mass-to-mass.
Strategi Khomeini
Alvin Toffler dengan brilian menganalisis strategi Ayatollah Khomeini terkait dengan tiga model komunikasi massal ini dalam membangun revolusi untuk menjatuhkan rejim otoriter Shah.[2] Pada saat Shah berkuasa di Iran maka Shah menguasai segala bentuk komunikasi massa Gelombang Kedua seperti surat kabar, majalah, radio, film sampai dengan televisi, dan Khomeini sangat sadar akan hal itu.
Yang dilakukan oleh Ayatollah Khomeini adalah memaksimalkan bentuk komunikasi massa Gelombang Pertama, face-to-face atau man-to-man dan Gelombang Ketiga, mass-to-mass. Pada man-to-man communication, para mullah pendukung Khomeini melakukan pertemuan tatap-muka langsung dengan pengikut-pengikut Khomeini di Iran dalam mesjid-mesjid atau tempat-tempat tertentu. Sedangkan dalam komunikasi massa Gelombang Ketiga, Khomeini merekam pidato-pidato atau pesan-pesannya dalam kaset yang dapat digandakan secara mandiri oleh pengikut-pengikutnya dengan hanya menggunakan tape-tape recorder yang murah. Kaset-kaset hasil penggandaan itu dapat diputar secara luas oleh pengikut-pengikut atau simpatisan-simpatisannya di seluruh Iran. Bentuk komunikasi massa Gelombang Ketiga, mass-to-mass paling efisien yaitu internet belum dikenal saat itu.
Yang perlu diingat dalam hal ini adalah, strategi Khomeini di atas berjalan dalam situasi Iran yang sangat represif. Situasi represif akan lebih mengkondisikan pengikut-pengikutnya dalam upaya penggandaan kaset-kaset yang berisi pesan-pesan Khomeini dan mendengarkannya dengan penuh perhatian. Kita bandingkan dengan situasi yang kurang represif seperti misal kasus buku George Aditjondro, Gurita Cikeas. Ketika ada tindakan represif dan isu dilarangnya buku itu merebak, justru banyak buku yang beredar secara gelap dan banyak masyarakat mau membeli dengan harga di atas normal. Isi buku menjadi lebih menarik untuk dicermati. Tetapi ketika yang berkuasa menyadari ”kesalahan”nya dan buku itu kemudian menjadi bebas tanpa hambatan untuk dijual di perempatan-perempatan jalan, ”wibawa” buku itu seakan menjadi ”turun”.
Kode-kode Kultural [3]
Jepang secara tradisional adalah peminum teh, tetapi mengapa sekarang hampir 80 % orang Jepang juga peminum kopi? Pada awal tahun 1970-an kopi di Jepang hanya dihidangkan di hotel-hotel berbintang untuk konsumsi para tamu asing yang menginap. Nestle melihat peluang ini dengan bermaksud membuat gerai-gerai kopi di luar hotel-hotel berbintang itu.
Tetapi yang terjadi adalah gagal total. Nestle gagal merebut pasar di Jepang. Kemudian dilakukanlah penelitian dan Nestle melakukan konsultasi dengan seorang psikiater AS keturunan Perancis, Clotaire Rapaille. Kesimpulan yang akhirnya didapat adalah, kegagalan Nestle memasarkan produk kopi pada masyarakat Jepang saat itu adalah dikarenakan dalam otak masyarakat Jepang belum ter-implant tentang kopi. Kode-kode kultural (cultural codes) tentang kopi belum ada dalam masyarakat Jepang.
Disarankan oleh Clotaire supaya Nestle melakukan implant rasa kopi di otak masyarakat Jepang dengan memasukkannya dalam permen atau biskuit-biskuit yang dibuat berasa kopi. Maka selama sepuluh tahun beredarlah permen dan biskuit yang berasa kopi itu ke anak-anak Jepang dan kaum mudanya Hasilnya setelah sepuluh tahun adalah: ketika Starbuck. -gerai kopi terkenal- membuka gerai pertamanya di Tokyo, dalam waktu singkat telah dibuka cabang-cabang berikutnya di berbagai kota di Jepang.
Memang betul peran kode-kode kultural itu dalam ikut menentukan suksesnya Starbuck menguasai outlet gerai kopi di Jepang, tetapi yang diperlukan pertanyaan di sini adalah, jika yang buka gerai kopi ini adalah Kang Giman yang belum mempunyai nama sekuat dan se-prestis Starbuck, apakah ini juga akan mendorong sedemikian cepatnya masyarakat Jepang menjadi peminum kopi?
Pierre Bourdieu
Kedua contoh di atas, bagaimana Khomeini menggunakan komunikasi massa Gelombang Pertama dan Ketiga sebagai strategi utama revolusi dan peran penanaman kode-kode kultural, meski berlangsung dalam dua masyarakat yang berbeda –yang satu represif dan yang kedua, demokratis- ada persamaannya, yaitu semuanya berujung pada suatu tindakan atau praktek. Terkait dengan praktek ini, Pierre Bourdieu telah mengingatkan bahwa praktek itu dipengaruhi oleh habitus, modal dan ranah atau kadang ditulis sebagai: (habitus x modal) + ranah = praktek.[4]
Kode-kode kultural dalam kasus minum kopi dalam masyarakat Jepang di atas bisa diparalelkan dengan habitus. Sedangkan Starbuck adalah modal atau modal simbolik dalam terminologi Bourdieu. Sedangkan masyarakat Jepang yang demokratik itu adalah ranah. Percampuran dari ketiga hal itulah yang menyebabkan praktek minum kopi dalam masyarakat Jepang merebak.
Dalam kasus revolusi Iran, Starbuck adalah Ayatollah Khomeini, sebagai modal simbolik. Kebiasaan-kebiasaan berkumpul di sekitar Mullah dan mendengarkan kaset-kaset yang berisi pesan Khomeini adalah habitus. Sedangkan Iran yang represif di bawah Shah adalah ranah.
***
Saat Shah Iran berkuasa, moda komunikasi gelombang dua sepenuhnya dikuasai Shah Iran secara represif. Dalam situasi yang berbeda, dalam nuansa ’demokratis’, bagaimana jika moda komunikasi ini dikuasai oleh sekelompok kecil saja, tidak dengan represi berdasarkan kekuasaan fisik –karena memang sudah tidak mungkin, tetapi dikuasai dengan kekuatan uang? Juga tidak hanya merambah moda komunikasi gelombang dua, tetapi juga berusaha merambah dan mengusik pada moda komunikasi gelombang tiga? *** (23/10/2010)[5]
[1] Alvin Toffler, Power Shift. Knowledge, Wealth, and Violence At the Edge of The 21st Century, Batam Books, November 1990, p. 351
[2] Ibid, p.355
[3] Clotaire Rapaille, The Culture Code: An Ingenious Way to Understand Why People Around the World Live and Buy As They Do, Broadway Books, 2006
[4] Richard Harker dkk, (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Jalasutra
[5] Pernah dimuat di: http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=572, dengan judul Tiga Gelombang Model Media, dengan beberapa perubahan
16 - 3 - 2018