www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18 Maret 2018

 

Pilatisme, pilatism adalah gaya cuci tangan. Ceritanya adalah, konon pada awal tahun Masehi, Ponsius Pilatus –Gubernur Propinsi Yudea Kekaisaran Roma, 26-36 M, ketika dihadapkan pada suatu putusan untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan hukum Kekaisaran Roma waktu itu, Ponsius Pilatus memilih untuk mencuci tangan. Sebentar lagi dalam perayaan Paskah, pastilah nama Ponsius Pilatus akan disebut-sebut di gereja terkait dengan peringatan penyaliban Yesus.

 

Ketika Yesus dibawa massa ke depan Ponsius Pilatus, penguasa tertinggi daerah Yudea dan sekaligus bawahan langsung Kaisar Roma saat itu, Tiberius, massa meminta Yesus dihukum sesuai hukum Romawi yang berlaku. Di satu sisi Ponsius Pilatus merasa tidak menemukan kesalahan sebagai dasar penyaliban, tetapi massa terus mendesak supaya Yesus dihukum. Ponsius Pilatus akhirnya memilih cuci tangan dan menyerahkan Yesus kepada massa, orang-orang Yahudi.

 

Pusaran perubahan UU MD3 (Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD)-pun dari satu sisi, drama ini lekat dengan pilatisme itu. Mungkin penyaran-penyaran Presiden pernah bercerita tentang Ponsius Pilatus ini. Dan akhirnya dapat kita lihat bersama, Presiden menyerahkan UU MD3 ini kepada rakyat jika ingin menolaknya, melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi. Presiden memilih cuci tangan, seperti cerita Ponsius Pilatus di atas. Bedanya, kalau Ponsius Pilatus sebenarnya tidak sepakat dengan maunya massa, Presiden dalam hal UU MD3 ini merasa ada di pihak massa/rakyat. “Kenapa tidak saya tandatangani, ya saya menangkap keresahan yang ada di masyarakat,” kata Jokowi seperti diberitakan oleh kompas.com. Sama-sama cuci tangan, tapi beda inner beauty.

 

Mungkin ada baiknya kita serius melihat gejala pilatisme ini, paling tidak jika kita membaca tulisan Robert Harris dalam Imperium di bawah ini:

 

“Ada pepatah lama, Tuan-tuan, di kalangan pedagang di pasar Macellum, bahwa ikan membusuk mulai dari kepala ke ekor, dan jika ada yang busuk di Roma saat ini – dan siapa yang meragukan hal itu? –terang-terangan aku mengatakan bahwa kebusukan itu dimulai di kepala. Kebusukan ini dimulai di puncak. Kebusukan itu dimulai di senat.” Sorak-sorai membahana dan entakan-entakan kaki. “Dan hanya ada satu hal yang pantas dilakukan pada kepala ikan yang busuk dan bau, kata para pedagang, yakni memotongnya – memotongnya dan membuangnya!” Sorak-sorai lagi. “Tapi diperlukan pisau yang baik untuk memenggal kepala itu, karena ini kepala aristokrat, dan kita semua tahu seperti apa kepala itu!” Tawa. “Kepala itu bengkak akibat racun korupsi dan menggembung oleh sikap angkuh dan pongah. Diperlukan tangan yang kuat untuk menggunakan pisau itu, juga saraf yang mantap, karena leher mereka terbuat dari kuningan, kaum aristokrat itu, sungguh: leher kuningan, mereka semua!” Tawa. “Tapi orang itu akan datang. Dan tidak jauh lagi. Aku berjanji, kekuasaan kalian akan dipulihkan, seberat apa pun perjuangan itu.” Beberapa yang lebih cerdas mulai menyerukan nama Pompeius. Cicero mengangkat tangan, tiga jari terjulur. ”Kini dipundak kalian jatuhlah sebuah ujian besar, apakah kalian layak turut serta dalam pertempuran ini. Tunjukkan keberanianmu, Tuan-tuan. Mulailah hari ini. Hantamlah kezaliman. bebaskan klienku. Lalu bebaskan Roma!”[1]

 

Terakhir, Selamat Paskah 2018, Berkah Dalem. (Maret 2018)

 

[1] Robert Harris, Imperium, Gramedia, 2008, hlm. 73

 

Pilatisme Dalam Pusaran Perubahan UU MD3

gallery/ponsius