www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19 - 3 - 2018

 

Ketika kasus Nazaruddin, tersangka korupsi Wisma Atlet, semakin melebar dan mulai menyentuh Partai Demokrat, terutama saat Kongres Partai Demokrat di Bandung, kemegahan kongres saat itu mungkin kembali hadir dalam ingatan kita. Bagaimana warna biru mendominasi tata ruang sampai kepada kerasnya yel-yel diteriakkan. Atau juga saat deklarasi pencalonan pasangan SBY dan Boediono. Kedua peristiwa itu seakan juga mengingatkan kita bagaimana Hitler selalu tampil megah di muka para pendukungnya. Kenapa hal semacam itu masih akrab dengan dunia sekitar kita?

Tulisan ini berusaha menjelaskan gejala itu berdasarkan pandangan-pandangan Hermann Broch (1886-1951), terutama pandangannya terkait dengan massa. Tulisan ini juga akan melihat lebih jauh implikasinya terhadap konsep kepemimpinan. Beberapa catatan-catatan kritis disampaikan, terutama terkait dengan perkembangan teknologi informasi pada dekade-dekade terakhir. Bagaimanapun, Hermann Broch hidup di masa ketika jaringan internet belum ada.

Beberapa pandangan Herman Broch

Herman Broch lahir 1 November 1886 di Wina Austria. Ia lahir dari keluarga Yahudi, dan kemudian bekerja di perusahaan keluarga. Pada saat bersamaan, Broch juga terus mengembangkan minatnya pada sastra secara mandiri. Pada tahun 1927 ia menjual perusahaan tekstil warisan keluarga dan memutuskan belajar matematika, filsafat dan psikologi di Universitas Wina. Pada usia 45 tahun, Hermann Broch menerbitkan novelnya yang pertama berjudul Sleepwalkers. Ketika Austria dikuasai oleh Nazi, Broch ditangkap. Broch akhirnya pindah ke Inggris setelah dibebaskan oleh teman-temannya. Dari Inggris Broch kemudian menetap di Amerika Serikat dan di sana ia menyelesaikan novelnya yang berjudul The Death of Virgil. Broch meninggal tahun 1951. Karirnya di bidang sastra pernah membuatnya dinominasikan sebagai penerima Nobel di bidang sastra.[i]

Bagi Broch, meski manusia mempunyai kehendak bebas, sebagian besar perjalanan hidupnya bukanlah merupakan manifestasi dari kehendak bebas yang serba jelas terpilah itu. Sebagian besar perjalanan hidup manusia, menurut Broch, terkait dengan apa yang diidentifikasi sebagai kesadaran manusia yang serba temaram. Binatang kelihatannya bertindak secara rasional, seperti turun gunung ketika ada tanda-tanda gunung akan meletus. Tetapi, menurut Broch, hal itu bukanlah sebuah tindakan rasional, tetapi sepenuhnya berdasarkan insting. Bagi Broch, binatang bertindak secara elementer dalam kondisi-kondisi temaram. Corak perilaku binatang akan menyesuaikan dengan kondisi-kondisi lingkungan mereka. Perilaku semacam ini juga ada dalam hidup manusia ketika ia bertindak dalam kesadaran temaramnya.

Hanya saja berbeda dengan binatang, manusia mempunyai kesadaran baik akan dirinya maupun dunia. Hal ini membuat manusia mampu meretakkan kesadaran temaramnya dimana binatang tak bisa. Maka bagi Broch, hanya manusia yang mampu membuat sejarah. Bagi Broch, perilaku yang dipengaruhi oleh kesadaran temaram pada manusia dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi-kondisi alamiah yang melingkupinya, tetapi juga oleh kondisi-kondisi yang dibuat oleh manusia sendiri melalui pengembangan pengetahuan. Hal ini juga ditegaskan oleh Abraham J. Heschel dalam Who Is Man?,

A theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A theory about man enters his consciousness, determine his self-understanding, and modifies his very existence. The image of man affects the nature of man.[ii]

 

Meski begitu, Broch juga mengingatkan bahwa ketika manusia ada dalam kesadaran temaram ia bisa saja tidak mampu membedakan antara kondisi-kondisi alamiah dan kultural. Maka kemudian, meski ia hidup di tengah-tengah kondisi kultural yang dibangunnya sendiri, ia seakan berperilaku seperti perilaku binatang saat berhadapan dengan kondisi alamiahnya. Pada titik inilah maka kesadaran manusia yang temaram itu bisa membuat manusia menjadi massa. Maka bagi Broch, massa adalah produk dari kesadaran individu yang temaram.

Kesadaran Temaram dan Pembingkaiannya

Kesadaran temaram ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai bahan dasar apa yang disebut sebagai common sense. Menurut Alfred Schutz seperti dikutip oleh Teun A. van Dijk[iii], common sense adalah pengetahuan sosial yang secara implisit mendasari praktek sosial sehari-hari dari para anggota kelompok yang diterima secara taken for granted. Sifat taken for granted inilah yang mungkin disebut Hermann Broch sebagai ketidak mampuan manusia membedakan antara kondisi alamiah dan kultural.

George Lakoff mengkaitkan common sense dengan apa yang disebut sebagai pembingkaian (framing). Bagi Lakoff, “framing” adalah merupakan struktur mental manusia di mana ini digunakannya dalam memahami realitas, dan kadang-kadang untuk membuat apa yang kita inginkan menjadi realitas.[iv] Lakoff membedakan antara deep frames dan surface frames. Deep frames adalah dekat dengan common sense, sedangkan surface frames adalah sebuah pembingkaian yang akan digantungkan dalam deep frames tersebut.

Sebuah cerita tentang bagaimana masyarakat Jepang dapat juga menjadi peminum kopi kiranya dapat membantu lebih jauh pemahaman kita dalam hal ini. Di tahun 1970-an, Nestle berusaha masuk kedalam pasar Jepang dengan menawarkan produk kopinya. Setelah berusaha selama hamper sepuluh tahun, ternyata usaha Nestle itu gagal total. Jepang yang secara tradisionil adalah peminum teh itu seakan tidak bergeming. Maka Nestle kemudian berkonsultasi dengan seorang psikiater warga AS keturunan Perancis. Nasehat kemudian diberikan, dan nasihat itu adalah dimasukkannya rasa kopi tapi tanpa kafein dalam permen-permen, biskuit-biskuit dan lain-lain. Dasar nasehat itu adalah, dalam kesadaran masyarakat Jepang belum ada imprint rasa kopi dalam kesadarannya. Upaya ini sebenarnya sebuah upaya untuk menanamkan kode-kode kultural dalam kesadaran. Setalah rasa kopi masuk dalam kesadaran masyarakat Jepang selama lima tahun, maka hasilnya adalah ketika Starbuck gerai kopi terkenal membuka cabang pertamanya di Tokyo Jepang, dalam waktu singkat gerai kopi itu bertambah dan menyebar ke seluruh Jepang. Tentu ke-terkenalan dan gaya hidup yang dibawa Starbuck adalah faktor signifikan, tetapi bagaimanapun juga itu hanyalah surface frame yang harus ada tempat menggantungkannya pada deep frame, dalam hal ini adalah kode-kode kultural (rasa kopi) yang sudah ditebar dalam masyarakat Jepang (melalui permen rasa kopi, biskuit rasa kopi, dan lain-lain).

Dapat dilihat di sini bahwa kesadaran temaram yang disebut oleh Hermann Broch pada dasarnya adalah merupakan tempat strategis di mana segala taktik politik ataupun mungkin juga bisnis harus diletakkan pada awalnya. Permasalahannya adalah, bagaimana implikasinya pada kepemimpinan? Karena seorang pemimpin jika tidak menyadari hal ini maka ia dapat dipastikan akan gagal dalam menjalankan tugas utamanya: memimpin.

Kesadaran Temaram dan Kepemimpinan

Jika ingin menggali pandangan-pandangan Broch terkait dengan kesadaran temaram manusia dalam implikasinya pada kepemimpinan maka harus diingat bahwa Broch hidup dalam apa yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang kedua dalam transformasi sejarah manusia, yaitu revolusi industri. Gelombang pertama mulai 10.000 tahun yang lalu, yaitu revolusi pertanian. Dan sekarang, menurut Toffler, kita hidup dalam gelombang ketiga, revolusi yang didasarkan pada komputer, elektronik, informasi, bioteknologi dan semacamnya.[v]

Modus komunikasi pun berkembang. Pada gelombang pertama, modus komunikasi adalah man-to-man atau face-to-face. Pada gelombang kedua berkembang modus komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi dan sejenisnya yang kemudian bisa disebut sebagai man-to-mass communication. Pada gelombang ketiga berkembang apa yang disebut sebagai komunikasi mass-to-mass yang menjadi sangat begitu berkembang dengan adanya jaringan internet. Broch, terutama keprihatinannya terhadap Hitler, membangun pandangan-pandangannya ketika apa yang disebut komunikasi man-to-mass begitu intensif dipergunakan. Tentu pengaruh berkembangnya modus komunikasi atas pandangan-pandangan Broch masih harus dilihat lagi apakah ada pengaruhnya atau tidak, tetapi bagaimana implikasi pandangan Broch terhadap kepemimpinan semestinyalah hal tersebut perlu diperhitungkan.

Kita bisa bayangkan ketika seorang merasa dengan segala atribut yang serba besar, suara menggelegar dan yel-yel yang memekakkan telinga hadir di layar televisi yang wajib siar ke seluruh penduduk misalnya, dia akan yakin mampu menundukkan massa. Tetapi ternyata diam-diam dari satu e-mail-ke-e-mail, satu facebook-ke-facebook, satu situs ke situs hal itu jadi guyonan, kita bisa bertanya, akan efektif dan maksimalkah upaya ‘penundukkan massa’ itu?  Man-to-mass lawan mass-to-mass, akankah mass-to-mass mampu menjadi benteng ketika man-to-mass dengan percaya diri mau menelan massa dalam kesadaran temaramnya?

Di sini satu prinsip yang disampaikan Walter J. Ong kiranya dapat kita pegang sebagai tambahan ‘strategi’ sehingga ‘ke-temaram-an kesadaran’ itu tidak serta merta menjadi sasaran empuk para ‘predator massa’. Menurut Ong, seperti dikutip oleh Teew, sound, suara yang dihasilkan oleh mulut yang langsung disambut oleh telinga, akan mempersatukan, menggabungkan. Ideal pendengaran adalah harmoni, mempersatukan, sedangkan ideal khas visual (dalam hal ini adalah visual untuk membaca misalnya) adalah kejelasan dan keterpisahan, penguraian.[vi] Maka dalam hal konsep kepemimpinan, dalam konteks ini adalah penting seorang pemimpin untuk mampu melahirkan ‘pemimpin-pemimpin kecil’. Maksudnya adalah, bagaimana pemimpin mampu melahirkan pemimpin-pemimpin dalam kelompok-kelompok kecil yang mampu melakukan komunikasi face-to-face secara mendalam dalam lingkungan terdekatnya.

Maka tak heran juga -katakanlah seorang penguasa, jika ia menguasai modus komunikasi man-to-mass –televisi, radio, media cetak, dan dengan itu semua ia siap ‘mencaplok’ massa yang dalam keadaan temaram itu, ia akan selalu menghambat berkembangnya baik modus komunikasi mass-to-mass maupun man-to-man di kalangan massa. Jaman sekarang, internet-media soaial akan diawasi ketat dan di sisi lain, misalnya,  khotbah-khotbah sebagai modus man-to-man atau face-to-face akan juga diawasi.*** (Mar-2018)

 

[ii] Heschel, Abraham, J., Who Is Man?, Stanford University Press, pp. 8

[iii] Dijk, Teun A. van, Ideology, A Multidisciplinary Approach, SAGE Publications, 1998, pp.102

[iv] Lakoff, George, Thinking Points: Communicating Our American Values and Vision, Ch. 3, lihat http/www.rockridgeinstitute.org, diunduh tahun 2008

[v] Toffler, Alvin, Power Shift, pp. xx

[vi] Teew, A. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustaka Jaya, 1994. hlm. 26-27

Pemimpin Sebaiknya Melahirkan "Pemimpin-pemimpin Kecil"

gallery/broch