www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Belajar Dari Drost

3-4-2018

Enambelas tahun lalu, dalam Kompas 10 Oktober 2002 J.I.G.M. Drost menuliskan apa-apa yang diharapkan oleh universitas-universitas di Jerman dari calon-calon mahasiswanya. Menurut Drost, tuntutan itu dapat dipadatkan dalam satu kata, hochschulreife. Semua calon harus mencapai hochschulreife, artinya: kematangan, baik intelektual maupun emosional. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa.[1]

“Setiap mahasiswa yang ingin studi kimia harus mempunyai nilai tinggi untuk matematika dan bahasa Jerman. Nilai baik dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani diharapkan. Tidak begitu penting nilai-nilai fisika dan kimia,” demikian kata salah seorang rektor univertas di Jerman seperti dikutip Drost.[2] Platon lebih dari 2000 tahun lalu juga berpendapat pentingnya nalar sebagai dasar untuk menggapai pendidikan selanjutnya. Pada awal-awal pendidikan menurut Platon, penting bagi anak untuk diajarkan aritmatika, geometri, musik dan astronomi. Bukan pada perhitungan-perhitungan yang njlimet, tetapi untuk pemahaman akan relasi-relasi universal yang mendasari hal-hal tersebut.[3]

Maka bagi pendidikan dasar, terutama tingkat sekolah dasar, menjadi penting sekali bagaimana masalah bahasa dan matematika ini didekati secara benar. Bukan untuk gagah-gagahan dengan mengajukan kerumitan pada anak, tetapi pertama-tama adalah untuk menuntun terbangunnya kemampuan bernalar dan bertutur yang baik. Tidak mudah ini dilaksanakan sekarang ini ketika yang ‘dimuliakan’ dalam dunia mereka adalah peringkat tinggi dan segala juara olimpiade-olimpiade. Sebuah ‘ranah baru’ yang bisa-bisa menggeser esensi pendidikan.

Kebijakan pendidikan adalah termasuk kebijakan politik, diputuskan dalam proses-proses politik. Politik tidak akan lepas dari power, dan tepat di sinilah masalahnya. Antara kepentingan amanat UUD dan Proklamasi, bertegang keras dengan siapa yang lebih diuntungkan dari situasi yang ada. Antara kepentingan ‘kelas dominan’ dengan kepentingan nasional. Bagi kelas dominan, menjadikan rakyat semakin bernalar dan mampu bertutur dengan baik akan menjadikan rakyat bukan lagi sasaran empuk bagi bermacam propaganda mereka. Ujung akhir, bisa mengancam dominasi. Di sinilah sebenarnya seorang pemimpin mestinya punya ‘kecerdasan bernegara’. Kemampuan melihat bagaimana kepentingan nasional sesuai dengan amanat UUD harus dibangun dan mengidentifikasi berbagai upaya yang akan menggagalkannya.

Dalam oralitas, menurut Walter J. Ong, akan menampakkan banyak potensi. Maka selain bertutur itu akan beriringan dengan bernalar, bagi anak ini adalah ekspresi dari potensi. Terlalu dalam frase kompetensi sekarang ini mengubur isu terkait dengan potensi anak. Padahal pada pendidikan dasar, bukanlah kompetensi yang harus dikejar, tetapi menguak, mengembangkan potensi unik masing-masing anaklah sebenarnya yang terpenting. Di sinilah kemudian apa yang ada dalam UU Pendidikan tahun 2003 terkait dengan pendidikan akademik, profesi/spesialis dan vokasi akan lebih berdaya guna.

Maka jika kita mau jujur, katakanlah selama enam tahun pendidikan SD, berapa ruang dan waktu bagi anak bertutur? Berapa ruang dan waktu bagi guru untuk mendongeng? Berapa ruang dan waktu bagi anak mendengar temannya bertutur dan kemudian memberikan apresiasi? Coba juga kita telisik buku-buku matematika bagi SD, terlalu rumitkah? Atau sudahkan pengajaran matematika di SD lebih dititik beratkan dalam membangun nalar, bukan untuk gagah-gahan mampu menyelesaikan soal yang rumit-rumit? Terlalu banyak masalah di pendidikan dasar kita, kalau kita jujur. Dan sekali lagi haruslah selalu diingat, pendidikan tidak lepas dari kepentingan politik. Politik tidak bisa lepas dari power. Dan dalam power selalu ada pertanyaan, siapa yang dominan? Jelas, masalah ini tidak hanya masalah full day school semata atau tidak. Pemimpin plonga-plongo jelas juga tidak akan mampu menggapai dimana episentrum masalah berada. Apalagi diharapkan melawan kepentingan ‘kelas dominan’. *** (3-4-2018)


[1] J. Drost, SJ., Dari KBK sampai MBS, Esai-esai Pendidikan, Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 25

[2] Ibid, hlm. 26                                         

[3] Yogendra K. Sharma, The Doctrines of the Great Western Educators. From Plato To Bertrand Russel, Kanishka Publishers, New Delhi, 2002, hlm. 43

gallery/sd bermain