www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Pertempuran Di Atas Jembatan Keledai

4-4-2018

Di Jerman, jembatan keledai ini disebut sebagai eselsbrucke, esel (keledai)+-s-+brucke (jembatan). Dalam bahasa Inggris dikenal istilah mnemonic, dan baik mnemonic, eselsbrucke maupun jembatan keledai ini adalah sebuah kata atau beberapa kata pendek untuk membantu mengingat akan sesuatu. Contoh, kadang kita kesulitan menyebut warna-warna dalam pelangi, maka untuk mempermudah mengingatnya kita buat jembatan keledai: me-ji-ku-hi-bi-ni-u, misalnya.

Dunia periklanan sebenarnya adalah dunia yang menghabiskan banyak waktu di atas ‘jembatan keledai’ ini. Mereka berusaha keras membuat kata, gambar, gerak dan sebagainya sehingga ketika orang melihat, mendengar, membau maka hal tersebut menjadi semacam jembatan keledai untuk mempermudah mengingat produk yang diiklankan. Dan kemudian membelinya. Maka dalam komunikasi massa dikenal adanya baik sound bite maupun image bite. Revolusi mental misalnya, diharapkan menjadi jembatan keledai, menjadi sound bite bagi Joko Widodo. Hanya masalahnya, dunia periklanan pasti tahu, ketika produk ternyata jauh kualitasnya dibandingkan klaim yang diletakkan di atas jembatan keledai, pastilah akhirnya produk itu akan gagal juga dalam pemasaran. Ketika Jokowi sebagai presiden melempar-lempar hadiah ke rakyat Indonesia dari dalam mobil yang sedang berjalan sambil pecingas-pecingis, sebagian besar yang mengkaitkan ‘aksi gombal’ itu dengan revolusi mental bisa-bisa sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut revolusi mental-nya Jokowi itu adalah omong kosong besar doang.

Bagi yang pernah membaca The Culture Code[i]-nya Clotaire Rapaille pasti akan paham bahwa dalam komunikasi massa, apa yang diletakkan di jembatan keledai itu barulah satu faktor, meski sangat penting. Diceritakan oleh Rapaille bagaimana ia membantu Nestle memasarkan produk kopi di Jepang, yang mana sebelumnya mengalami kegagalan. Kebiasaan minum teh di Jepang selama ratusan tahun mengakibatkan sedikitnya ‘kode-kode kultural’ bangsa Jepang terhadap rasa kopi. Yang dilakukan Rapaille adalah memasukkan kode kultural rasa kopi terlebih dahulu ke masyarakat Jepang melalui permen rasa kopi, biskuit rasa kopi, dan lain-lain. Setelah kode kultural rasa kopi itu menyebar, bertahun kemudian dalam waktu singkat ekspansi Starbuck di kota-kota besar Jepang merebak secara signifikan. Starbuck sebagai brand adalah panji-panji yang diarak di atas jembatan keledai, tetapi itu tidak akan berhasil jika kode-kode kultural belum tumbuh untuk mendukungnya.

Dari kacamata George Lakoff, mungkin brand Starbuck itu bisa disebut sebagai surface frame, sedang kode-kode kultural akan rasa kopi sebagai deep frame. Bagi Lakoff, deep frame adalah tempat dimana surface frame akan digantungkan. Jembatan keledai bagi kepentingan pribadi jelas tidak akan serumit ini, tetapi akan kompleks jika ‘jembatan keledai’ ini ditempatkan dalam konteks komunikasi massa.

Dalam politik, terlebih menjelang pemilihan umum, pertempuran sengit salah satunya terjadi di atas jembatan keledai ini. Masalahnya adalah, ada saja yang tidak tahu batas kapan pertempuran itu harus dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya. Sebab, seperti telah diingatkan oleh founding father, ada jembatan lain, jembatan emas, atau tepatnya: di seberang jembatan emas. Bagi Bung Karno, kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas, dan setelah merdeka tantangan ada di seberang jembatan emas.

Hanya pemimpin kelas boneka saja yang mau-maunya terus ‘berperang’ di atas jembatan keledai. Entah aksi foto-foto, pakai kaos, sandal-jepit, dan masih banyaaak lagi. Kelas boneka, sebab nampak jelas sekali bagaimana sang sutradara memainkannya dalam berbagai aksi ‘di atas jembatan keledai’ itu. Beraksi di atas jembatan keledai tentulah tidak masalah, asal tahu batas. Jika tidak, bisa lupa apa yang ada atau terjadi di seberang jembatan emas.*** (4-4-2018)


[i] Clotaire Rapaille, The Culture Code. An Ingenious Way to Understand Why People Around The World Buy And Live As They Do, Broadway, 2006

gallery/donkeybridge