www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Melawan 'Aksioma Bernays'?

5-4-2018

Edward L. Bernays adalah salah satu pionir public relations. Salah satu yang banyak dibaca oleh para konsultan-konsultan politik. Dalam Crystallizing Public Opinion (1923), Bernays menuliskan,

      “It is axiomatic that men who know little are often  intolerant of a point of view that is contrary to their own”.[1]

Aksioma menurut J.S. Badudu adalah sesuatu yang tidak perlu dibuktikan lagi karena sudah diterima kebenarannya secara pasti.[2]

Jauh sebelum Barnays menulis di atas, bagi Platon, mengajarkan dialektika ada di bagian akhir dari proses panjang pendidikan. Dialektika bagi Platon lebih dari sekedar dialog, tetapi ia mengabdikan dirinya dalam upaya mencari kebenaran. Jauh dari sekedar debat untuk menang-menang-an saja. Maka setelah melalui ‘pendidikan dasar’, pada pendidikan lebih tinggi Platon menyarankan materi sain dan filsafat. Sain diajarkan terus sampai periode usia 20 sampai 30 tahun. Dalam periode ini diajarkan aritmatika, geometri, musik dan astronomi secara lebih dalam. Setelah periode ini, selama lima tahun dikhususkan untuk belajar dialektika.[3] Jelas ketika hasil pendidikan a la Platon ini masuk ke ‘dunia dialetika’ sebenarnya, mereka masuk tidak dengan ‘know little’.

Permasalahannya adalah, kutipan di atas merupakan bagian dari pembahasan tentang opini publik, dan bukan dialog dalam dialektika Platon. Tentu dengan pengetahuan yang luas maka ketika dialektika tersebut ditampilkan, tidak hanya saja akan berpengaruh pada peserta dialog, tetapi juga yang mengikuti dari jauh. Hanya saja, bagaimana ini akan menjadi opini publik?

Banyak faktor terlibat dalam membangun opini publik, baik terkait dengan kemajuan komunikasi maupun beberapa penemuan-penemuan baru mengenai cara kerja otak kita. Tetapi kita kembali saja ke kutipan ‘aksioma’ di atas. Tetaplah penting untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan sehingga dapat terbangun sebuah dialog yang terbuka dan produktif. Prinsip-prinsip Platon dalam pendidikan bisa menjadi pengingat hal ini.

Kecepatan informasi sekarang ini tentulah berkah yang melimpah. Terlalu banyak hal positif jika kita mampu “naik di atas gelombang” ini. Tetapi di satu sisi, apa yang ditulis Haryatmoko soal ‘logika waktu pendek[4] haruslah menjadi perhatian kita juga. Sering bermacam pengetahuan/informasi seliweran mampir di hadapan kita tanpa kita punya waktu yang cukup untuk mengendapkannya. Bagai tumpukan pasir yang ketika ditambahkan sebutir pasir lagi tiba-tiba jadi runtuh. Apalagi kadang dalam kepentingan politik, sering muncul “shock doctrine”[5] digital yang bisa membuat orang ‘terpana secara digital’ dan membuat ‘tumpukan pasir’ bisa langsung runtuh atau paling tidak menjadi rapuh kapan saja.

Alvin Toffler dalam Power Shift[6] menuliskan tiga modus komunikasi, face-to-face atau man-to-man, man-to-mass, dan mass-to-mass. Dalam rimba informasi, kelihatannya pengendapan informasi paling efektif sekarang ini adalah pada face-to-face atau man-to-man. Maka adalah baik dan harus untuk memperoleh segala informasi atau pengetahuan baik itu diperoleh melalui modus komunikasi mass-to-mass, seperti internet dan segala ‘turunannya’, atau melalui modus man-to-mass seperti televisi, radio, surat-kabar, buku-buku, tetapi jangan pernah melupakan untuk menindak-lanjuti ini dalam ’dialektika’ face-to-face. Jika ini dilakukan secara terus menerus, bagi pihak-pihak yang senangnya menyebar ‘shock doctrine’ via internet, mereka akan frustasi melihat hasil menjadi tidak seperti yang diharapkan, yaitu: mengurung kawanan tetap di kandang. *** (5-4-2018)

[1] Edward L. Bernays, Crystallizing Public Opinion, Liverlight Publishing Corp., New York, 1961, hlm. 65

[2] J.S. Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, hlm. 10-11

[3] Yogendra K. Sharma, The Doctrines of the Great Western Educators. From Plato to Bertrand Russel, Kanishka Publishers, New Delhi, 2002, hlm. 43

[4] Lihat Haryatmoko, Etika Komunikasi, Kanisius, 2007

[5] Meminjam istilah Naomi Klein dalam The Shock Doctrine. The Rise of Disaster Capitalism, Metropolitan Books, New York, 2007

[6] Alvin Toffler, Power Shift, Bantam Books, 1990

 

gallery/herd