www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Negara, Pasar, Masyarakat Sipil

6-4-2018

Jose Mourinho adalah salah satu pelatih yang lihai dalam perang psikologis, sebelum pertandingan. Dalam tinju, ketika kedua petinju bertatap-pandang, segala bahasa tubuh petinju menjadi analisa di luar ring terkait dengan ‘perang psikologis’ sebelum ronde dimulai. Dalam pembedaan antara negara, pasar dan masyarakat sipil kadang juga terjadi ‘pertandingan’, ketegangan antar ketiganya. Ketegangan yang terjadi tidaklah sama di masing-masing negara. Di belahan dunia lain, pembedaan dan ‘ketegangan’nya tersebut pada prakteknya bisa hanya antar  dua ‘kubu’, yaitu antara negara dan pasar di satu pihak dan masyarakat sipil di pihak lain.

Negara dan pasar satu kubu dalam arti negara dalam praktek sebagian besar adalah di bawah ketiak pelaku-pelaku besar pasar dalam apa yang disebut sebagai komplotan oligarki-pemburu rente. Runtuhnya rejim lama sama sekali tidak menggoyahkan esensi dari komplotan ini. Persis seperti yang diungkap oleh Jeffrey Winters, hancurnya sebuah rejim bukan berarti pula hancurnya oligarki. Dalam tiga empat tahun terakhir di negara tersebut semakin dirasakan bahwa komplotan ini tidak hanya ingin mempertahankan dominasi ‘seperti biasanya’, tetapi juga mulai berani sampai mempertaruhkan kedaulatan republik. Maka tidak heran jika ada dua ‘kubu’ yang mereka bidik, dan dalam konteks republik bidikan mereka adalah tentara dan rakyat atau dalam konteks bahasan ini adalah masyarakat sipil.

Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) menyebut soal gerakan ganda (double movement). Semestinya, menurut Polanyi, ekonomi tidak bisa lepas dari masyarakat. Ekonomi tempatnya adalah subordinat dari politik, agama dan relasi-relasi sosial. Tetapi ketika ekonomi lepas dari masyarakat dan berkeyakinan dapat mengatur diri –swatata (self-regulating market), maka inilah yang disebut sebagai ‘gerakan pertama’, lepasnya pasar bebas dari masyarakat. Dan ini akan memberikan ‘gerakan kedua’ sebagai respon masyarakat yang ingin melindungi diri dari segala akibat ‘lepasnya ekonomi’ tersebut.

Maka adalah penting bagi mereka untuk dapat ‘mengendalikan’ masyarakat sipil ini sehingga tidak mampu lagi membuat ‘gerakan perlawanan’. Represif, meski tetap masih sebagai pilihan tetapi bukanlah pilihan pertama, maka salah satu pilihan adalah ‘perang psikologis’. Kata-kata tidak bermutu dari menteri-menteri ketika muncul permasalahan, terlebih yang terkait dengan perut –entah itu cabai, mahalnya beras, daging, cacing dalam sarden misalnya, dapat dipandang dari sisi ini selain kemungkinan karena memang tidak bermutunya mereka juga.

Dari sisi ‘perang psikologis’, ujung yang diharapkan adalah rakyat kebanyakan menjadi ‘loyo’, 'lumpuh psikologis', tak berdaya ketika menghadapi omongan yang ‘semau gue’ itu. Marah? Tersinggung? Tapi, terus  mau apa? Sama juga ketika rakyat ‘dipaksa’ berebutan mengambil hadiah-hadiah yang dilempar dari mobil yang sedang berjalan. Dongkol? Tetapi terus mau apa? Juga makian dan caci di media sosial. Dan bagaimana bedanya hukum berlaku bagi mereka dan yang bukan mereka. Telanjang, dan membuat banyak orang gundah. Tetapi, terus mau apa? Seakan tak berdaya. Mungkin ini tidak jauh dari apa yang disebut dengan 'burnout syndrome'? Rakyat maunya mengambil jalan bermartabat, tetapi terasa tumpul, tak berdaya dan kemudian menggerogoti semangatnya ketika dihadapkan pada ke-tidak-ber-martabat-an yang bertubi-tubi dari 'atasan-atasan'-nya.

Tetapi apapun itu, kadang bawah sadar bisa memberikan kejutan-kejutannya. Apa yang diungkap Polanyi lebih dari tujuh-puluh tahun lalu itu bukannya tanpa makna. Buktinya? Merebaknya #2019gantipresiden itu. *** (6-4-2018)

gallery/gantipres