www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-4-2018

Hanya elit-elit sontoloyolah yang justru lebih menikmati berenang di dalam comberan. Saling sandera kasus, saling intip potensi skandal. Dalam realisme politik mungkin hal tersebut bisa dikatakan hal biasa, tetap meski begitu tentu ada batas-batas yang perlu dipahami bersama. Orang boleh menuntut kebebasan, tetapi dia juga harus berhitung pula kala kebebasannya bersinggung erat dengan kebebasan orang lain. Ketika kesejahteraan umum dilupakan, mencerdaskan kehidupan bangsa dikesampingkan, dan bahkan bangsa dan seluruh tumpah darah digadaikan[1], elit-elit sontoloyo itu tidak hanya sedang berenang, tetapi sudah tenggelam dalam comberan.

Tidak ada dalam kepala mereka upaya yang disebut sebagai ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Mereka berperilaku layaknya sebagai Sontoloyo beneran. Sontoloyo dalam pengertian bahasa Jawa berarti yang menggembalakan –angon, bebek-bebek turun ke sawah untuk cari makan. Dalam pandangan mata sempit elit sontoloyo, sebagian besar rakyat adalah layaknya bebek-bebek. Dan runyamnya, keyakinan sontoloyo mereka mengatakan: cukup bebek-bebek itu digiring sebentar dan dilempar uang –bahkan jika perlu dilempar dari dalam mobil yang sedang berjalan (!), nanti toh ‘bebek-bebek’ itu akan berebut dan manut (ikut saja).

Apa yang kita rasakan sekarang ini seperti sedang membenarkan istilah ‘menebar angin menuai badai’. Mengkarbit dan menebar kaum medioker –orang-orang ‘kerdil’ untuk menjadi elit, gejalanya sudah mulai merebak beberapa tahun terakhir, dan akhirnya dapat dirasakan sekarang, badai akibat mediokerisasi itu semakin kuat meniup. Kata Napoleon Bonaparte: “when small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity”.

Kalau kita amati, gejala mediokerisasi elit-elit (sontoloyo) ini menjadi lebih mudah dilaksanakan ketika kubangan tempat mereka berenang dilepaskan dari amanat konstitusi. Dilepas dari amanat Proklamasi. Dan terlebih lagi, dilepas dari ‘suasana kebatinan’ (geistlichen hintergrund) dari konstitusi. Mirip dengan dilepaskannya (disembedded) pasar dari keseluruhan tatanan masyarakat –yang sudah dikritik tajam oleh Karl Polanyi, lepasnya kubangan elit sontoloyo dari  geistlichen hintergrund konstitusi itu menjadikan sangat mudah bagi mereka untuk terperosok dalam logika ‘mekanisme-pasar’. Kaum elit sontoloyo dan comberannya itu kemudian merasa dalam kondisi ‘self-regulating-market’ yang tidak peduli lagi pada amanat konstitusi, dan bahkan pada negara-bangsanya, rakyat.

Maka, suka atau tidak suka, setuju atau tidak terhadap isi dari ungkapan Yusril Ihza Mahendra saat Kongres Umat Islam Sumut baru-baru ini, performance Yusril saat itu sungguh bisa sedikit mengobati luka-luka ruang publik yang sudah diacak-acak oleh kaum elit-elit medioker nan sontoloyo itu. Bagi yang tahu bagaimana Yusril dulu terlibat dalam pemerintahan –sikap, kecerdasan, dan integritas, performance Yusril tersebut akan dihayati sebagai tampilan dengan inner beauty yang dalam. Sekali lagi, anda boleh setuju atau tidak dengan ungkapan Yusril, tetapi yang pasti, menghadapi yang semacam Yusril ini - baik sebagai teman atau musuh, sama-sama terhormatnya. Tentu ada nama-nama lain di luar Yusril yang bisa turut mengobati luka-luka ‘ruang publik’ kita, sayang masih terlalu sedikit dibanding gerombolan elit-elit sontoloyo itu. Maka kelihatannya, luka-luka yang berdarah-darah ini nampaknya tidak hanya perlu dijahit, tetapi harus masuk meja operasi untuk tindakan lebih besar. Mampukah kita? Tentu! *** (20-4-2018)

 

[1] Lihat: Pembukaan UUD 1945, alinea-4

Elit-elit Sontoloyo