www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-5-2018

Thomas Piketty dalam Pendahuluan buku Capital in the Twenty-First Century mengungkap bagaimana presentasi Simon Kuznets di awal tahun 1950-an begitu mempengaruhi sepak terjang kebijakan di negara-negara maju, khususnya mulai dari AS. Inti presentasi Kuznets waktu itu adalah tentang kesenjangan (inequality), yang kemudian terkenal dengan sebutan kurva Kuznets (Kuznets curve). Menurut Kuznets, gerak kesenjangan akan berjalan seperti kurva bel atau bentuk huruf U terbalik, di mana kesenjangan awalnya akan meningkat, tetapi dengan berkembangnya industrialisasi dan ekonomi kesenjangan akan menurun.[i] Piketty dalam Capital menunjukkan ternyata bukan itu yang terjadi, tetapi kesenjangan di awal abad-21 justru merebak seperti kondisi pada akhir abad-19 dan awal abad-20. Dari sini dapat kita lihat bagaimana ‘the power of story-telling’ dapat begitu dahsyat dampaknya, entah dari mana sumber atau titik berangkat story-telling tersebut. Tidak hanya ‘menuntun’ suatu tindakan/kebijakan,  story-telling juga dapat berfungsi sebagai, menurut Berger dan Luckmann, conceptual machineries of universe-maintenance.[ii]

Man is in his action and practice, as well as in his fictions, essentially a story-telling animal,” demikian Alasdair MacIntyre dalam After Virtue.[iii] Menurut MacIntyre, jawaban atas pertanyaan “Apa yang akan saya perbuat?” hanya dapat ditemukan jika saya dapat menjawab pertanyaan: “Dari cerita atau cerita-cerita apa saja yang mana saya dapat menemukan bagian saya di dalamnya?”[iv] Ada pendapat yang berbeda-beda mengenai cerita dalam hubungannya dengan manusia, tetapi apa yang disampaikan MacIntyre mungkin bisa sedikit membantu. “Cerita-cerita”, demikian MacIntyre, “hidup sebelum diceritakan –kecuali dalam kasus fiksi.”[v] Maka, entah cerita itu berangkat dari suatu realitas yang hidup di masa lalu atau pun fiksi, atau juga dalam hal ini utopia, dapat mempengaruhi bagaimana manusia bertindak.

M.A.W. Brouwer dalam Psikologi Fenomenologis, berdasarkan teori Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality, dengan gaya tulisan khas Brouwer memberikan contoh yang menarik.

“Seorang pemburu harus berkelahi tanpa senjata dengan rhinoceros (badak-pen.) Dia ingat peristiwa yang bersejarah itu. Hal itu disebut sedimentasi (pengendapan) dalam ingatan. Dia menceriterakan pengalaman pada teman-teman. Dituliskan dengan bentuk bahasa (linguistic designation) atau pengertian (concept) misalnya: lone big kill with one hand of male rhinoceros. Seorang teman mengalami hal yang kurang dahsyat yaitu lone big kill with two hands of female rhinoceros. Hanya pemburu yang berijazah (fully initiated hunters) bisa melakukan hal itu atau boleh melakukan hal itu. Dengan perkataan lain telah terjadi perlembagaan: corak perbuatan untuk corak orang, type of acts for type of actors.[vi]

Sumber utama dari pelembagaan adalah pembiasaan. Keberulangan, atau ke-bertubi-tubi-an. Tetapi selain itu, pelembagaan juga bisa dipercepat ketika ada pihak ketiga yang menunjuk bahwa itu memang baik. Cerita itu memang pantas kita yakini kebenarannya, begitu si pihak ketiga akan berkata dalam mempercepat proses pelembagaan. Kadang, tetapi ini kiranya sudah menjadi pilihan terakhir, pelembagaan dapat dipercepat dengan represi atau tekanan fisik.

Apa akibat dari berhasilnya pelembagaan itu? Dari contoh di atas, Brouwer meneruskan: “Bagi mereka yang tidak boleh melakukan hal itu, lembaga itu toh ada arti, misalnya seorang gadis lebih senang kawin dengan one hand male dari pada two hands male. Seperti pada jaman sekarang seorang gadis kadang kadang lebih suka nikah dengan eksponen lembaga insinyur daripada eksponen lembaga tukang.”[vii]

Pertanyaan berikut adalah, mengapa cerita bisa dapat begitu berpengaruh terhadap manusia? Pendapat Hermann Broch mungkin dapat membantu kita di sini. Terkait dengan pendapat Broch soal kesadaran temaram, Broch menyatakan bahwa “Di dalam kelompok manusia dengan kondisi temaram, pemimpin (atau elit) mengambil alih semua fungsi-fungsi rasional.”[viii] Bagi Broch, meski manusia mempunyai kehendak bebas, sebagian besar perjalanan hidupnya bukanlah merupakan manifestasi dari kehendak bebas yang serba jelas terpilah itu. Sebagian besar perjalanan hidup manusia, menurut Broch, terkait dengan apa yang diidentifikasi sebagai kesadaran manusia yang serba temaram.[ix] Kesadaran temaram (twilight consciousness) dibedakan Broch dengan keadaan bawah sadar (subconsciousness) atau tidak sadar (unconsciousness). Kesadaran temaram adalah merupakan bagian dari bawah sadar, misalnya terkait dengan insting-insting dan rangsang-rangsang irrasional. Tetapi juga, kesadaran temaram merupakan bagian dari kesadaran rasional manusia meski dengan keterbatasan-keterbatasannya.[x] Maka, ketika pemimpin tidak selalu ada di depan mata, bisa saja ceritalah yang kemudian mengambil alih fungsi-fungsi rasional manusia. Bahkan mungkin lebih dari itu. Pemimpin mempunyai kemampuan untuk mengambil alih semua fungsi-fungsi rasional pun bisa saja tidak lepas dari adanya ‘rasionalisasi’ macam-macam cerita yang ada di sekitar pemimpin itu.

Judul tulisan merupakan plèsètan dari sound bite kampanye Bill Cilnton tahun 1992, it’s the economy, stupid. Konstruksi cerita yang cenderung ugal-ugalan dapat kita lihat sejak merebaknya mobil Esemka, salah satu ‘tunggangan’ Joko Widodo menuju DKI-1 saat itu. Banyak sekali cerita bergulir mengikuti ‘kesuksesan’ story telling Esemka di kemudian hari, entah itu sebagai narasi ataupun digabung dengan aksi bahasa tubuh (body language). Ugal-ugalannya konstruksi cerita itu karena begitu percaya diri ketika media seperti surat kabar, televisi dan juga radio banyak yang berperan sebagai ‘pasukan hore’ yang militan –maju-tak-gentar-membela-yang-bayar. Tidak jauh dari apa yang dikatakan oleh David Korten (cetak tebal ditambahkan),

“A far-right alliance of elitist corporate plutocrats and religious theocrats has gained control of the political discourse in the United States not by force of their numbers, which are relatively small, but by controlling the stories by which the prevailing culture defines the pathway to prosperity, security, and meaning. In each instance, the far right’s favored versions of these stories affirm the dominator relations of Empire.”[xi]

Kepercayaan diri yang tinggi karena merasa menguasai bagian besar surat kabar, televisi, dan radio-radio, bahkan semakin terasa seperti sebuah kecongkakan. Term radikalisme yang diulang-ulang secara ugal-ugalan (dan disesaki dengan kecerobohan dan kekumuhan) dengan harapan memberikan story telling yang efektif ternyata semakin dirasakan begitu kedodorannya. Demikian juga cerita sebagai korban atas bullying dari kelompok lawan, sangat mudah dilihat sebagai skenario murahan. Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Napoleon,

“When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity[xii] *** (01-5-2018)

[i] Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, The Belknap Press of Harvard University Press, 2014,  hlm. 12-14

[ii] Peter Berger, Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Penguin Books, 1976

[iii] MacIntyre, Alasdair, After Virtue, Duckworth, London, 1981, p. 201

[iv] Ibid

[v] Ibid, hlm. 197

[vi] M.A.W. Brouwer, Psikologi Fenomenologis, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 168

[vii] Ibid

[viii] Broch, Hermann, A Study on Mass Hysteria, dalam Broch, Erkennen und Handeln, Rhein Verlag, Zuerich, 1965, hlm. 269

[ix] Ibid, hlm. 258=259

[x] Ibid, hlm. 260

[xi] David C Korten, The Great Turning, From Empire to Earth Community, Yes! Magazine, Summer 2006, hlm. 17

[xii] Jules Bertaut, Napoleon in his own words, A.C. McClurg and Co., 1916, hlm. 12

It's a "story problem", stupid

gallery/jokowi karnival