www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-5-2018

Politics is the art of reaching power and keeping it”, demikian kata salah satu petinggi partai politik ke Manuel Castells. Dan Castells kemudian menimpali: “Bagaimana dengan merubah masyarakat?” Pimpinan partai menjawab bahwa itu merupakan bagian dari gambar besar yang akan dilakukan, tetapi sebagai catatan kaki saja, bukan tujuan utama.[1] Castells tidak menambahkan keterangan siapa dan dari negara mana pimpinan partai politik tersebut. Lepas dari itu, kutipan yang disampaikan Castells di atas bisa memberikan sedikit gambaran apa yang dimaksud dengan realpolitik.

Dalam realpolitik di Amerika, hubungan antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi isu besar, tetapi tidak di Perancis. Di Jepang, politisi bisa mundur dari jabatan karena salah omong, tetapi di lain tempat, seorang presiden -bahkan dengan pecingas-pecingis, lempar-lempar bingkisan ke rakyatnya dari dalam mobil yang sedang berjalan. Atau menjelaskan ke wartawan soal kondisi ekonomi bangsa dengan bahasa tubuh glécénan, nyaris jegègèsan. Dari beberapa hal ini maka bisa dikatakan bahwa bagaimanapun realpolitik pastilah dia punya ‘habitat’. Tidak terjadi dalam ruang vacuum.

Adanya moral karena jauh di dasarnya ada pembedaan antara baik dan jahat/buruk. Estetika, karena adanya yang indah dan jelek. Ekonomi, untung dan rugi. Bagi Carl Schmitt, politik menjadi ada karena di jantung paling dasarnya ada pembedaan antara teman dan musuh (friend and enemy distinction).[2] Bagi kebanyakan anggota masyarakat yang tidak secara langsung terlibat dalam politik praktis, menjadi bagian dari ‘catatan kaki’ seperti kutipan di awal tulisan adalah hal yang sangat menjengkelkan. Meski dikatakan demos-kratos, kedaulatan di tangan rakyat, fakta sebaliknya dengan hanya menjadi sekedar ‘catatan kaki’ bukannya mengada-ada. Lalu apa yang bisa dikaitkan antara ‘friend and enemy distinction’ dengan kejengkelan akibat menjadi sekedar ‘catatan kaki’?

Kalau kita amati pengalaman di beberapa negara, nampak bahwa rakyat kebanyakan akan lebih mudah mendapat manfaat dari demokrasi ketika terjadi sistem dua partai (two-party system). Sebenarnya tetap multi-partai, tetapi terjadi proses sehingga dalam praktek hanya ada dua partai (atau koalisi partai-partai) dominan. ‘Friend dan enemy’-nya jelas. Memang bukan jaminan, tetapi paling tidak kalau di-semena-mena-kan oleh si A, kita jelas akan dapat segera menoleh ke si-B. Situasi menjelang 2019, kalau dirasa-rasakan sebenarnya akan menguntungkan kita sebagai rakyat, karena sekarang ini ada harapan terbentuknya dua koalisi besar. Semoga.

Yang kedua dari ‘friend and enemy’ ini adalah ketika refleksinya sampai menyentuh di ranah percaturan internasional. Friend dan enemy dalam pandangan Carl Schmitt sebenarnya sungguh nyata dan eksistensial sifatnya. Dan bukan private enemy, tetapi public enemy. Dengan naiknya isu membanjirnya TKA dari China, ini adalah kesempatan bagi kita sebagai rakyat untuk mendorong ‘habitat’ realpolitik ke level yang lebih tinggi. Ke level persoalan hidup-mati-nya sebagai bangsa. Dan kita tidak boleh sungkan untuk serius dalam hal ini. Cobalah lihat bagaimana pengalaman negara-negara lain dalam mengelola friend dan enemy dalam konteks hubungan internasionalnya.

Semakin mudahnya hubungan antar-manusia tidak hanya dinikmati oleh para elit saja, tetapi juga rakyat kebanyakan. Mulai sejak Gutennberg, telegram, telepon, radio, televisi, internet, media sosial, sampai smartphone. Banyak diceritakan bagaimana dampak sosial dari perkembangan tekhnologi komunikasi tersebut. Dan jika kita bisa sedikit pandai saja menggunakan kemajuan tekhnologi tersebut, paling tidak itu bisa mengurangi kemungkinan hanya menjadi ‘catatan kaki’ saja. Kita bisa ikut merubah ‘habitat’ realpolitik menjadi tidak mudah untuk mereka berlaku semena-mena lagi. Seperti misalnya, lempar-lempar bingkisan dari mobil kayak kita ini apa saja! Dengan kemajuan tekhnologi ada di tangan (via smartphone, misalnya) kita bisa ikut mendorong terbentuknya dua koalisi besar dan saling mengingatkan adanya ancaman dari luar yang nyata dan sudah begitu dekat itu.

Sebagai catatan akhir disampaikan kutipan ungkapan Warren Buffet seperti ditulis David Harvey dalam mengulas buku Thomas Piketty Capital in the Twenty-First Century, khususnya terkait dengan masalah merebaknya kesenjangan yang ugal-ugalan,

As Warren Buffett has noted, “sure there is class war, and it is my class, the rich, who are making it and we are winning”[3] *** (2-5-2018)

 

[1] Manuel Castells, Martin Ince, Conversation with Manuel Castells and Martin Ince, Polity Press, 2003, hlm. 82

[2] Carl Schmitt, The Concept of the Political, The University of Chicago Press, hlm. 26

[3] http://davidharvey.org/2014/05/afterthoughts-pikettys-capital/

Realpolitik

dan 'habitat'-nya