www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-5-2018

Twit Mahathir Mohamad[1] segera setelah memenangkan pemilihan di Malaysia kiranya bisa menjadi inspirasi. Ada beberapa hal dari per-nyataan pendek tersebut, (1) angin perubahan telah melanda, (2) kita memilih untuk mengem-balikan maruah negara, dan (3) kami akan me-nunaikan janji-janji yang telah dibuat.

Tidak mudah membuat sebuah pernyataan pendek yang berbobot. Cobalah kita lihat lagi misalnya, teks Proklamasi kita. Pernyataan Mahathir di atas, sama dengan teks Proklamasi, sangat kontekstual, se-gejolak dengan suasana kebatinan yang berkembang. Dari isinya, Mahathir menekankan sebuah kontinyuitas. Dalam ‘angin perubahan yang melanda’, pendukung-pendukung Mahathir ‘memilih untuk mengembalikan maruah (harga diri, martabat) negara’, dan itu akan dilaksanakan (oleh Mahathir) dengan ‘menunaikan janji-janji yang telah dibuat’. Jika dilihat lebih dalam lagi maka nampak bahwa titik sentralnya ada di maruah negara, pada harga diri dan martabat bangsa-negara. Dari jejak digital di internet, bisa kita lihat bahwa masalah maruah negara itu dipicu oleh investasi China yang seakan tidak menghargai kedaulatan negara.

 

 

 

 

 

 

 

Pada tahun 1839 Gubernur Jenderal Usmani untuk Mesir, Mohamad Ali Pasya bertekad membangun armada kapal perang seperti dimiliki Barat waktu itu. Maka didatangkanlah ahli-ahli dari Barat untuk membangun kapal di galangan-galangan kapal Mesir. Tetapi ahli-ahli Barat itu, meski tertarik akan gaji tinggi, tetap tidak mau datang jika keluarga mereka tidak terjamin, terutama masalah kesehatan. Maka bersamaan dengan itu datanglah dokter-dokter Barat di galangan kapal Mesir. Di waktu luangnya, dokter-dokter itu juga melayani warga setempat. Saat itu, di Mesir masih sangat ketat, sehingga ketika dokter Barat itu mau memeriksa pasien wanita, hanya diperbolehkan memeriksa nadi tangan dan dibatasi oleh tirai. Dan kemudian berkembang juga pada pelayanan wanita bersalin.[2]

Akankah cerita di atas akan berubah jika Ali Pasya tidak hanya mendatangkan ahli-ahli, tetapi juga pekerja kelas menengah dan kasar, yang mungkin saat itu banyak di Mesir? Dan kemudian menutup rapat galangan di mana warga lokal tidak boleh masuk kecuali ada ijin dari negara Barat asal ahli-ahli itu? Pertukaran kebudayaan seperti sudut pandang tulisan Toynbee (ditulis tahun 1953) yang dikutip di atas adalah tidak terelakkan. Apalagi era globalisasi seperti sekarang ini. Jadi tentu yang dilihat Mahathir terkait masuknya modal China, lebih dari sekedar dampak (pertukaran) kebudayaan. Tetapi sudah mengusik rasa berdaulat. Mengusik maruah negara.

“Kami akan menunaikan janji-janji yang telah dibuat”, adalah hal ketiga dari pernyataan Mahathir. Mengingkari sebagian besar janji, tidak hanya melukai demokrasi, melukai para pemilih/pendukung, tetapi juga sebenarnya merendahkan martabat bangsa pada umumnya. Seakan-akan seluruh warga-negara adalah bodoh semua, dan mudah ditipu. Tidak heran jika Abraham Lincoln pernah mengatakan ini, “you can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time”. Mahathir sangat paham itu, jika ia menyoal ‘maruah negara’, maka ‘menunaikan janji (kampanye)’ kemudian dihayati Mahathir sebagai bagian tak terpisahkan dari ‘maruah negara’. *** (12-5-2018)


[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/068-Mahathir-Mohamad/

[2]  Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor Indonesia, 1987, hlm. 84-85

Makanya, Fokus Pada #2019gantipresiden

gallery/mahathir