www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-6-2018

Mengejutkan memang, pada usia 92 tahun Mahathir Mohamad menjadi Perdana Menteri Malaysia. Dalam jalan pemilihan, semua memang mungkin. Tetapi tidak semua kemungkinan akan mewujud sebagai kemenangan. Supaya kemungkinan membesar menjadi kemenangan tentu banyak prasyarat. Dan jika proses pemilihan itu adalah sebuah rantai input-proses-output, maka prasyarat-pun ada dalam ketiganya.

Meski sudah tua (92 tahun!), dan pemain lama, Mahathir sebagai input dalam proses pemilihan sebenarnya boleh dibilang sebagai calon yang ‘fresh’, ‘baru-segar’. Apa yang membuat Mahathir menjadi calon yang ‘fresh’? Kelihatannya adalah permintaan maaf yang tertayangkan nampak betul-betul tulus dan menyentuh. Dengan permintaan maaf atas segala kesalahan di masa lalu, Mahathir seakan dilahirkan baru lagi, ‘fresh’. Dalam nuansa ‘politik skandal’ (dalam arti luas), kesalahan masa lalu bisa-bisa terolah sedemikian rupa sehingga menenggelamkan hal-hal baik yang menjanjikan. Dengan mengakui bahwa ada kesalahan di masa lalu dan meminta maaf dengan tulus justru khalayak akan mengapresiasi, dan menimang kembali kemampuan positif yang senyatanya sudah teruji. Jangan dikira mudah untuk minta maaf, apalagi bagi sosok se-kaliber Mahathir. Tidak mudah, dan tidak semua orang mau. Bahkan bagi kita-kita yang ‘orang biasa’ ini.

Jika lawan adalah petahana, maka ‘rasa fresh’ ini sebaiknya diperhitungkan dengan serius. Adalah jamak dalam kampanye, untuk lawan, hal positif akan diingkari dan segala kekurangan akan dieksploitasi.  Atau bagi diri sendiri, hal positif dan prestasi akan dieksploitasi, dan hal negatif sejauh mungkin jangan diungkap. Maka jika lawan petahana adalah ‘fresh’ maka ada kesulitan untuk mengeksploitasi kekurangan. Kalau toh akan dicari maka kesan mencari-cari kesalahan justru yang akan muncul.

Fresh’ di sini bukan berarti tidak pernah muncul di publik. Tetapi juga dia ‘fresh’ karena betul-betul sebagai ‘anti-tesis’ dari petahana. Dan Mahathir dengan jeli ia melihat terancam-nya kedaulatan Malaysia sebagai negara merdeka, dengan bukti-bukti yang ada di depan mata warga negara.[1] Orang boleh bicara soal globalisasi yang mengikis batas negara-bangsa, tetapi kemenangan Trump dengan salah satu isu kuatnya: imigrasi, dan Brexit di Inggris, masalah kedaulatan ini-pun perlahan naik menyusup ke-kesadaran banyak orang. Bukan semata masalah kedaulatan, tetapi imbas akan rapuhnya kedaulatan yang bisa berujung pada terancamnya kesejahteraan warganya.  Seperti ditulis oleh Erik Hobsbawm, ketika ‘cangkang’ negara-bangsa rapuh, maka bangsa itu seperti moluska dibetot keluar dari rumah siputnya, menjadi begitu rapuhnya.[2]

Potensi kecurangan dalam pemilihan tentu juga menjadi momok setiap peserta pemilihan. Dan itu bisa terjadi pada input, proses, maupun output. Banyak hal yang bisa diulas, tetapi tulisan ini hanya fokus pada masalah input, dan itu-pun hanya pada figur penantang petahana. Dan hanya aspek ‘fresh’ saja. Tentu masih banyak hal lain. *** (12-6-2018)

 

[1] Lihat, Makanya, Fokus Pada #2019gantipresiden, https://www.pergerakankebangsaan.com/070-Makanya-Fokus-Pada-2019gantipresiden/

[2] Lihat, Harga-harga Kedaulatan,  https://www.pergerakankebangsaan.com/085-Harga-harga-Kedaulatan/

Mahathir dan Konteksnya

gallery/fresh