www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-10-2022

Apakah Feurbach benar soal Tuhan adalah ciptaan manusia saja? Tentu salah, tidak benar Tuhan ciptaan manusia. Tuhanlah pencipta manusia dan alam semesta komplit dengan segala isinya, demikian iman akan serta-merta menjawab. Feurbach terbalik, cuk. Tetapi bagaimana jika kita sedikit nakal, Tuhan kita beri tanda kutip, dan ditulis dengan huruf kecil saja, “tuhan’”, misalnya. Artinya bukan dalam arti Tuhan spiritual –meski Feurbach memang memaksudkan demikian, tetapi “tuhan-tuhan” lain yang memang jika ditelusuri itu adalah ciptaan manusia semata. Sebuah proyeksi manusia, imajinasi manusia, katakanlah yang kemudian dilempar ke dunia 3-nya popperian dan kemudian diperlakukan layaknya Tuhan saja. Tidak mungkin? Mungkinlah, dan lihat kembali misalnya bermacam sejarah kelam di abad-20 itu, bukankah manusia menjadi ringan-ringan saja ketika membunuh manusia lain demi “tuhan-tuhan sekuler”-nya? Tak jauh berbeda dengan abad-abad sebelumnya di beberapa tempat di planet ini, ketika manusia saling bunuh demi Tuhan spiritual-nya. Atau yang dikatakan oleh petinggi gereja di Rusia sana terkait dengan mobilisasi pemuda-pemudi untuk ikut terlibat dalam invasi ke Ukraina: jika anda mati dalam perang itu, dosa-dosa anda akan (otomatis) diampuni!

Kritik Feurbach terhadap kristianitas itu kemudian ‘dikembangkan’ Marx untuk membangun ajakannya supaya menaruh lebih pada ‘hal-hal material’ terutama pada relasi-relasi kekuatan-kekuatan produksi. Dengan metafora camera obscura Marx menuntun pembaca untuk lebih menaruh perhatian pada ‘hal material’. Tetapi apakah ‘hal material’ itu hanya soal relasi-relasi kekuatan-kekuatan produksi? Bukankah misalnya, ‘keasyikan’ dalam menudang-nuding pada segala hal 'radikal-radikul' pada tahun-tahun terakhir di republik misalnya, tidak hanya mengaburkan soal realitas kongkret bagaimana soal relasi-relasi kekuatan produksi berkembang, tetapi juga soal manusia-nya? Manusia-manusia kongkret yang bergelut dalam kesehariannya dalam ranah produksi kekayaan itu? Di ‘basis’ yang penuh denyut itu? Tuhan memang bukan ciptaan manusia seperti sudah disebut di atas, tetapi ke-radikalan-ke-radikalun atau apalah mau disebut, itu adalah konstruksi manusia. Adalah ciptaan manusia. Termasuk juga segala ‘ide-anti’ terhadap ke-radikalan itu, ciptaan manusia juga. Bahkan bisa-bisa terhayati sebagai layaknya Tuhan saja, sehingga ‘ide-anti’ itu seakan sudah berubah menjadi sebuah ‘ide-suci’ saja. ‘Ide-suci’ yang pada titik tertentu justru malah mengaburkan harkat-martabat manusia kebanyakan.

Tragedi Kunjuhuran di Malang beberapa waktu lalu bisa dilihat dari sudut pandang ini: melupakan adanya manusia kongkret karena terlalu sibuk ‘bermain-main’ di ‘dunia atas’. ‘Tirai asap’ dari ‘dunia atas’ sudah sedemikian pekat dan menyihir sehingga bahkan dalam melihat manusia kebanyakan-pun sudah sangat berbeda. Maka tidak hanya relasi-relasi kekuatan-kekuatan produksi yang di-‘oplos’ secara ugal-ugalan sehingga bau pemburuan rente, crony capitalism, segala pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong atau sejenisnya yang sebenarnya sudah begitu menyengat bau busuknya, tetapi juga bagaimana manusia kebanyakan diperlakukan secara ugal-ugalan. Semau-maunya. Manusia kebanyakan itu kemudian tanpa beban lagi untuk ditipu berulang-dan-berulang, tidak didengar, dipukul, atau ditembak dengan gas air mata, bahkan nyawa manusia-pun kemudian hanya sekedar angka-angka saja. Tragedi Kunjuhuran adalah puncak gunung es dari ditentengnya kemana-mana camera obscura itu. Selama itu terus saja ditenteng kemana-mana –apalagi  ditenteng dengan petentang-petenteng, maka potensi ledakan tragedi lainnya akan terus saja membayang. *** (05-10-2022)

Camera Obscura dan Tragedinya