www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-10-2022

Wilhelm Reich (1897-1957) adalah dokter yang terus mendalami psikiatris, ilmu jiwa. Dalam The Mass Psychology of Fascism (1933) Reich menulis hal menarik: “The formation of the authoritarian structure takes place through the anchoring of sexual inhibitation and sexual anxiety.[1] Di bagian lain Reich menegaskan: “The result of this process is fear of freedom, and conservative, reactionary  mentality. Sexual repression aids political reaction not only through this process which makes the mass individual passive and unpolitical but also creating in his structure an interest in actively supporting the authoritarian order.[2] Apakah ini kemudian juga menjelaskan bahwa soal aborsi di Amerika sana bisa memicu demo pro-kontra sampai berhari-hari dan merebak kemana-mana? Ataukah berkembangnya kompetisi sepakbola misalnya, atau kompetisi-kompetisi olah raga lainnya, tidak hanya soal ‘hasrat kuasa’[3], tetapi juga terkait dengan hal ini? Ketika soal seksualitas masih ada norma-norma yang ‘mengikat’-nya –sedikit atau banyak, sehingga perlu kanal-kanal tertentu supaya tidak ‘mempermudah’ berkembangnya ‘penerimaan’ akan otoritarianisme? Bukankah jauuuh di dalam sana, soal seks masih juga menyisakan soal kuasa?

Maka membangun kompetisi olah raga yang sehat, fair, dan terdukung dalam konteks kongkret terhayati oleh khalayak kebanyakan kemudian tidak hanya soal men sana in corpore sano, tetapi adalah soal jiwa-jiwa yang bergejolak juga. Tubuh-tubuh yang selalu ada dalam gejolak hormonalnya. Tidak hanya pula bagaimana gejolak hasrat akan kuasa disalurkan, tetapi juga soal gejolak seks yang masih ada rintangan oleh bermacam norma itu tidak terus ‘membunuh’ hidup bersama melalui ‘rute’ lebih mudahnya dalam ‘penerimaan’ otoritarianisme. Atau bisa dikatakan dalam hal ini, jika seksualitas di sana-sini masih (terlalu) banyak kekangannya melalui bermacam norma atau lainnya, adanya kompetisi olah raga yang sehat, fair dan terdukung adalah mutlak diperlukan supaya hidup bersama menjadi tidak mudah jatuh pada, katakanlah, kediktatoran. Dan juga sebenarnya, supaya hidup bersama tidak mudah mendekat pada ‘batas ledakan’-nya.[4] Adakah ‘wajah ganda’ di sini?

Empire (2000) adalah karya Antonio Negri dan Michael Hardt yang juga terinsprasi dari beberapa tulisan Michael Foucault (1926-1984), dan Foucault sendiri terkait dengan seksualitas, ia sedikit banyak juga terpengaruh oleh beberapa pemikiran Reich, paling tidak seperti kutipan di awal tulisan. Dalam Empire, Negri dan Hardt menekankan sebuah pergeseran –mengambil dari pemikiran Foucault, soal disciplinary society ke society of control.[5] Contoh yang sedikit ‘ugal-ugalan’, jaman old itu lebih ke disciplinary society, sedang jaman now (maunya) ke society of control. “Society of control’ bukan berarti peran polisi komplit dengan pentungan dan gas air mata terus maju paling depan, tetapi ‘the police includes everything’, demikian Negri dan Hardt mengutip Foucault.[6] Power is now exercised through machines that diretly organize the brain (in communication systems, information networks, etc.) and bodies (in welfare systems, monitored activities, etc.) toward a state of autonomous alienation from the sense of life and the desire of creativity[7], demikian Negri dan Hardt menandaskan. Atau dalam praktek, tidak jauh dari Perang Modern-nya Ryamizard Ryacudu, dimana tahap eksploitasi, adu-domba, dan cuci-otak itu bisa jadi merupakan bagian dari ‘control’ yang sedang berlangsung. Jadi Perang Modern itu tidak kemudian pertama-tama adalah soal alat-alat perang yang paling canggih meski itu adalah sangat penting –tak boleh dilupakan, dan bisa-bisa akan menentukan dalam tahap akhir Perang Modern: penguasaan.

Judul tulisan adalah ‘Mini Empire’, dan mari kita bayangkan Liga Inggris sebagai ‘mini-empire’ dan juga ‘mini-multitude’-nya. Dan bayangkan pula seperti disebut oleh Negri dan Hardt dalam Empire, soal mixed constitution. Di  satu pihak ada yang mengatakan bahwa Liga Inggris itu based on television, artinya selain berpijak pada ‘hak siar’ juga melibatkan rantai sponsor, rantai modal. Juga soal jual-beli kaos seragamnya, dan juga pernak-pernik lainnya. Intinya, ‘pakta dominasi’ di Liga Inggris itu sebenarnya adalah sekunder saja, yang primer adalah ‘pergerakan modal’-nya. Jika PSSI-nya Inggris, atau mungkin dalam hal ini: Ketua Liga-nya itu ada dalam posisi ‘monarki’ ia tetaplah harus melihat dengan hati-hati si-monarki yang lebih besar, pemilik modal. Para pemilik klub pada dasarnya adalah juga golongan monarki, atau paling tidak ring-1 di ranah ‘aristokrasi’ yang mempunyai akses langsung pada si-‘mono’. Atau, bandingkan dengan posisi para Kardinal yang mempunyai hak untuk memilih Paus, kurang lebihnya begitu. Para arsitokrat lain adalah para manajer dan pemain. Sedang si-demos adalah para penggemar sepak bola-nya. Atau dalam konteks Empire-nya Negri dan Hardt, si-multitude.

Pertanyaan nakalnya adalah, siapa yang paling bertanggung jawab supaya si-multitude bisa ‘orgasme’? Sehingga ‘cerita’ di awal tulisan dimana dalam masyarakat masih ada –sesedikitpun, norma-norma pengekang soal seksualitas itu? Sehingga kemudian tidak lebih mudah jatuh pada penerimaan sebuah otoritarianisme? Para manajer dan pemain-pemainnya! Para manajer dan pemain-pemainnya yang lebih berpihak pada ‘multitude’ yang ingin dipuaskan. Tentu para manajer atau pelatih itu akan mendengarkan kepentingan pemilik modal, tetapi pada akhirnya iapun harus memuaskan penonton. Para manajer dan pemain yang masuk dalam golongan ‘aristokrasi’ itu, si-yang terpilih karena terbaik. Terbaik dalam ranah kompetisi: meritokrasi. Maka si-‘multitude’ itu akan bisa juga menerima kekalahan ketika pelatih dan pemain sudah memberikan segalanya. Tetapi bisa juga marah dan kemudian mengolok-olok pelatih dan pemain jika nampak di depan mata mereka bermain di bawah standar, dan karena itu kalah.

Tetapi bagaimana jika ‘pakta dominasi primer’-nya adalah juga kekuasaan di luar lapangan? Atau tidak saja modal melalui bermacam sponsorship, tetapi juga modal di tangan bandar-bandar judi? Akankah ‘meritokrasi’  masih bisa sebagai core values dari sebuah kompetisi? Atau bahkan jangan-jangan akan ada aparat yang kemudian ringan-ringan saja menembakkan gas air mata di tengah-tengah penonton? Yang rantai-peristiwa lanjutannya adalah hilangnya nyawa penonton? Ratusan. Bahkan anak-anak dan remaja? Dan pucuk pimpinan kemudian berlagak layaknya seorang ‘kaisar’ saja? ‘Kaisar’ di ‘mini-empire’ itu? Jika itu terjadi, jangan-jangan ‘pakta dominasi primer’-nyapun juga otoritarian? Atau memang kehormatan itu sudah tidak ada? *** (07-10-2022)

 

[1] Wilhelm Reich, The Mass Psychology of Fascism, Orgone institute Press, 1946,  hlm. 25

[2] ibid, hlm. 26

[3] https://www.pergerakankeba

ngsaan.com/1002-Homo-Ludens-dan-Kompetisi-Olah-Raga/

[4] ibid

[5] Antonio Negri, Michael Hardt, Empire, Harvard University Press, 2000, hlm. 22-23

[6] Ibid, hlm. 22

[7] Ibid

Mini Empire