www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-10-2022

The Stone Age did not end for lack of stone, and the Oil Age will end long before the world runs out of oil,” demikian sering diulang sebagai kata-kata Ahmed Zaki Yamani, yang jejaknya ada di tahun 2000. Meski ada yang menginvestigasi bahwa ungkapan itu pertama kali digunakan oleh Don Huberts yang juga pekerja di perusahaan minyak, di tahun 1999. Ada yang meyakini pula itu diucapkan Yamani disekitar tahun 1970-an, tetapi belum ditemukan bukti yang mendukung.[1] Tetapi apapun itu, kutipan di atas bisa kita jadikan pintu masuk pembahasan, panas-dingin soal energi sekarang ini. Panas-dingin soal kedaruratan iklim. Panas-dingin soal gejolak geopolitik global. Panas-dingin soal resesi ekonomi. Panas-dinginnya Perang Ukraina sebagai akibat invasi Rusia itu.

Bagi yang mempunyai cadangan minyak besar, berakhirnya Oil Age tentu akan menjadi masalah sendiri. Terlebih jika kekayaan yang melimpah itu kemudian justru seakan jatuh dalam ‘kutukan sumber daya’ dalam arti menjadi ‘lalai’ bahwa era minyak itu, cepat atau lambat akan berhenti juga. Bahkan seperti kutipan di atas, meski cadangan minyaknya masih banyak, belum habis. Perusahaan-perusahaan minyak di AS sono ditengarai justru ‘menghambat’ pemakaian energi matahari di antara warga. Macam-macam upayanya, termasuk memaksimalkan lobi-lobi. Itu ‘baru’ perusahaan, bagaimana jika itu dilakukan oleh negara, bahkan negara super-power seperti Rusia, misalnya. Dengan bermacam senjata di tangan, bahkan senjata pemusnah massal? Nuklir, misalnya. Apalagi bagi Rusia, ada yang mempunyai pendapat bahwa perubahan iklim seperti sekarang ini justru ‘menguntungkan’ mereka. Misal, permafrost yang jika lapisan es bawah tanahnya itu ikut-ikutan mencair, maka tanahnya menjadi bisa ditanami. Lupa bahwa mencairnya es bawah tanah itu juga akan melepas gas yang akan memperburuk perubahan iklim ini. Atau di daerah-daerah yang biasanya bersuhu di bawah nol pada musim dingin, siapa tahu menjadi lebih hangat.

Apakah perubahan iklim, dan bahkan kedaruratan iklim itu nyata atau sekedar propaganda saja? Jika kesulitan memahami bermacam fakta-fakta hasil penelitian, paling tidak dari apa-apa yang kita rasakan bertahun terakhir ini nampaknya soal perubahan iklim koq bukanlah sekedar propaganda saja. Nyata memang ada. Yang mempunyai potensi untuk menjadi propaganda itu adalah siapa yang paling bersalah? Atau paling bertanggung jawab? Tidak mudah untuk menjawab ini karena bagaimanapun juga soal iklim ini kaitannya adalah dengan bumi sebagai satu sistem-keseimbangan sendiri. Atau kita bisa bertanya, kenikmatan atau keuntungan selama ini yang kemudian menyebabkan perubahan iklim ini lebih pada siapa? Tetapi dalam konteks tulisan ini adalah soal ‘pergeseran energi’ yang di-‘provokasi’ oleh fakta-fakta kedaruratan iklim.

‘Pergeseran energi’ bagi banyak pihak bisa-bisa juga berarti ‘pergeseran power’. Pergeseran ‘kekuatan uang’ dalam jumlah gigantisnya. Bahkan jika salah dalam antisipasi, kepentingan nasional-pun bisa terganggu. Jika begitu maka bisa-bisa genderang ‘patriotisme’-pun dipukul keras-keras demi melindungi kepentingan nasional itu. Siap-siap perang. Apakah patriotisme akan seperti ini? Yang seakan menjadi ‘rabun-jauh’ terhadap persoalan yang lebih besar dari batas-batas teritori sebuah negara? Misal, kedaruratan iklim. Atau juga isu-isu kemanusiaan universal lainnya.

Patriotisme sebagai keutamaan, sepertihalnya etika, akan melibatkan hal timbang-menimbang. Yang menjadi masalah, di tengah-tengah kesibukan sehari-hari, kadang hal timbang-menimbang itu bisa-bisa terus minggir-mengalah pada modus taken for granted. Apalagi di tengah situasi ketidak-pastian, ‘kesadaran temaram’ (Hermann Broch) yang terus digendong oleh manusia itu sangat rentan dengan bermacam janji-janji, bahkan jika itu janji palsu. Dari sisi ini maka sebenarnya ‘kelas-menengah’-lah yang sebenarnya bisa diharapkan, dalam arti kesibukan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan dasar-nya relatif sudah tidak banyak ‘menyita waktu’ lagi. Ketergantungan akan pemenuhan kebutuhan dasarnya relatif juga tidak tergantung pada si-penguasa. Mereka-mereka ini menurut Paulo Freire, katakanlah, mempunyai potensi besar untuk berkembangnya ‘kesadaran kritis’. Masalahnya, jika kelompok ini tidak berangkat juga untuk menjadi ‘kritis’ –sayangnya, ada potensi besar justru untuk jatuh pada sikap fanatik. Terlebih yang di kota-kota besar, menurut Freire.

Abad 21 –era Revolusi Informasi, yang diyakini sebagai abad ‘kekuatan pengetahuan’ sebagai ‘pemimpin’-nya, menurut Alvin Toffler, salah satunya ‘dibuka’ dengan munculnya ‘wikipedia’ di dunia digital pada tahun 2001. Sebuah situs bermacam informasi yang pada awalnya, siapapun bisa mengunggah atau mengeditnya. Maka kritik-pun muncul di awal-awal hadirnya ‘wikipedia’ itu. Salah satunya adalah kekhawatiran akan munculnya ‘hegemoni kaum amatir’. Meski nampak ‘arogan’ tetapi kritik itu-pun didengar oleh ‘wikipedia’ dengan terus memperbaiki diri dalam proses penyuntingannya. Sampai sekarang. Dengan Revolusi Informasi ini memang kemudian bermacam informasi bisa datang dari bermacam arah, bemacam sumber. Sebuah berkah sebenarnya, tetapi memang harus dikembangkan pula sikap-sikap tertentu dalam menghadapi limpahan informasi ini. Tidak mudah karena sekali lagi, hal timbang-menimbang itu bisa-bisa akan minggir atau mengalah terhadap modus taken for granted. Apalagi jika itu dikembangkan seperti rute yang diambil dalam skandal Cambridge Analytica itu. Propaganda, bahkan semacam cuci-otakpun bisa menjangkau sampai ruang-ruang yang sungguh privat, sampai di ruang toilet misalnya. Melalui smart-phone yang dibawa serta. Selain juga justru akan semakin mengisolasi satu-sama lain dari orang-orang dekat sekitarnya, kebertubi-tubian informasi yang sering cenderung dilihat yang ‘sepaham’ saja, ini juga akan mendorong lebih mudahnya terbentuk semacam ‘kerumunan digital’. Dengan segala fanatisme-nya.

Dalam olah-kuasa tentu hal di atas bisa sangat menggiurkan. ‘Tehnik’ kuasa menjadi berkembang seiring bagaimana komunikasi antar manusia berkembang. Semakin mudah, semakin efisien, dan efektif. Dan bisa-bisa membuat ‘kecanduan’, olah-informasi itu kemudian seakan menjadi ‘agama’ saja. Dengan ‘nabi’ dan ‘nabi palsu’-nya adalah si-pencerita. Bahkan sejak jaman oral, manuskrip, cetak, sampai sekarang, dunia digital. Jebakan ‘kenikmatan-sihir-informasi’ ini bisa berakibat banyak dalam hidup bersama. Salah satunya adalah seperti di sebut di atas, terperangkap dalam ‘kutukan sumber daya’ seperti dimaksud di atas. Contoh paling ekstrem saat ini adalah Korea Utara, meski memang sumber daya alam-nya tidak melimpah. Jika dalam agama ada yang disembah, mereka menyembah para pemimpinnya dengan simbol-simbol yang melekat: senjata.

Apa yang mau ditandaskan dalam hal ini adalah soal ‘jebakan-kenikmatan-sihir-informasi’ dalam olah-kuasa, ketika mulai ‘kecanduan’. Apalagi mengingat daya-ungkit yang ditawarkan dalam dunia digital ini. Manusia sebagai ‘story-telling animal’ (MacIntyre) hanyalah satu dimensi manusia saja. Eksploitasi sisi story-telling animal memang bisa begitu berhasilnya dalam olah-kuasa. Kita bisa melihat bagaimana sihir dari ‘mobil Esemka’ pada masa lalu. Dan bermacam dongeng lagi, entah itu dalam bentuk narasi verbal, gambar, ataupun gerak tubuh. Macam-macam. Tetapi itu pastilah ada batasnya. ‘Kecanduan’ adalah sudah tidak mengenal batas, seakan ‘olah-sihir-informasi’ itu dihayati sebagai si-panacea. Bahkan dalam praktek bukan lagi kecanduan akan ‘kenikmatan-sihir-informasi’, tetapi sudah serasa kecanduan ‘jalan-gampang’, karena faktor ‘daya-ungkit’ dunia digital itu. Ada kebijakan ujungnya rakyat susah, bayar pollsterRp untuk mengolah informasi betapa tingginya kepuasan. Ada sesuatu perlu dialih-isu, bayar buzzerRp untuk provokasi. Atau membuat pertunjukan seolah-olah geram, marah, kesal, dan sejenisnya. Atau pertunjukan lain. Aturan tidak sesuai? Ya diganti, repot amat. Atau ngibul soal masa depan. Tipu sana tipu sini. Ada masalah di kebijakan, misal soal shadow organization-nya Mas Mentri itu, asal tidak terus-menerus jadi informasi viral, diamkan saja, besok-sesok kan dilupakan. ‘Pertunjukan’ cengèngèsan, glécénan. Jogètan. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tentu ‘mereka-mereka’ -para 'dalang' itu paham akan batas-batas ini. Maka ‘amunisi’ berikut sudah disiapkan, kekuatan kekerasan. Sayangnya, paradigma ‘jalan-gampang’ ini sudah sangat ‘merasuk’ dan begitu merusaknya. Ujungnya adalah: tak terkendali. Dan bagaimana jika yang tak terkendali itu yang pegang senjata? Seperti Putin di hari-hari ini? *** (15-10-2022)

 

[1] https://quoteinvestigator.com/

2018/01/07/stone-age/

 

Energi dan Pergeserannya