17-10-2022
Di Solo dan dekat Jogja kami mengadakan serangkaian rapat umum. Malam itu aku untuuk pertama kalinya berbiara tentang “Perang Pasifik yang akan meletus”. Ini tahun 1929. Setiap orang mengira aku gila.
Dengan darahku yang mengalir cepat dari perasaan gembira yang tidak tertahankan, keluarlah dari bibirku ucapan yang sekarang sangat terkenal: “Kaum imperialis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.”[1]
Apa yang digambarkan oleh Bung Karno di tahun 1929 -93 tahun lalu, bisa dikatakan mirip-mirip dengan situasi sekarang. Paling tidak dalam eskalasi ketegangan globalnya. Keputusan Konggres Partai China disana untuk memberikan perpanjangan jabatan bagi Presiden Xi Jinping bisa dihayati bahwa ketegangan di Pasifik bisa-bisa akan memuncak jika tidak hati-hati. Dengan masih dalam-nya nuansa ‘patron-klien’ di republik, hal tersebut pastilah akan berdampak. Republik memang bukan Burkina Faso, negara di Afrika Barat sana. Sepuluh bulan lalu, presidennya dikudeta oleh seorang Letnan-kolonel. Bulan lalu, si-letnan-kolonel yang kemudian menjadi presiden transisi sejak Januari 2022 itu, dikudeta oleh si-Kapten. Yang kemudian menjadi presiden transisi untuk dua tahun mendatang, sampai 2024. Akankah si-kapten akan dikudeta oleh si-Kopral sebelum dua tahun masa transisi habis? Kita tidak tahu, tetapi ini sekedar ilustrasi betapa ‘kepentingan asing’ itu bisa mengaduk-aduk sebuah negara-bangsa.
Kita boleh-boleh saja keranjingan mengutuk ‘kepentingan asing’ yang mau mengaduk-aduk situasi dalam negeri. Tetapi dikutuk sampai mencret-pun potensi itu akan tetap ada, dulu, sekarang, maupun besok-besoknya. Itu seakan ada di ‘luar-kendali’ kita. Yang ada ‘dalam-kendali’ kita adalah respon terhadap hal-hal semacam itu. Atau sebenarnya seperti diyakini si-Bung 93 tahun lalu itu. Atau dalam konteks Perang Modern yang sering disinggung oleh Ryamizard Ryacudu, bagaimana kita merespon atau menghadapi bermacam infiltrasi, merespon atau menghadapi politik adu domba, cuci-otak, dan tentu ketika sampai harus berhadap-hadapan dengan upaya-upaya invasi /penguasaan oleh pihak lain.
Melihat situasi yang berkembang saat ini, dan bertahun terakhir, maka mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi terburuk adalah sikap yang semestinya. Sebab, siapa tahu ada yang sedang meng-‘edit’ lontaran si-Bung menjadi: “Kaum nasionalis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan pecah dan menjadi bangsa yang terpecah-belah.” Tidak mungkin? Memangnya tidak ada yang sedang berimajinasi untuk pecah belah berdasarkan kekayaan alam, letak-geografis untuk pangkalan militer, berdasar suku, agama, dan lain-lainnya? *** (17-10-2022)
[1] Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, YBK-Penerbit media Pressindo, Ed. rev., 2011, cet. 2, hlm. 111