www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-10-2022

The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.

John F. Kennedy, Yale University Commencement Address, delivered 11 June 1962

Mitos bisa dihayati sebagai ‘horison statis’, seakan ‘mengurung’ kita dengan tidak ada kemungkinan untuk dimajukan lagi. Tidak hanya kemungkinan di luar horison yang  kemudian menguap, tetapi juga kemungkinan-kemungkinan dalam horison itu juga mulai membeku. Ada rasa aman memang, tetapi cenderung ‘membekukan’. Maka tak mengherankan pula jika mitos akan berakibat juga seperti dikatakan Kennedy di  atas, menjauh dari ke-tidak-nyamanan berpikir. Ke-tidak-nyamanan berpikir yang sering diperlukan dalam memajukan horison. Menjadi malas untuk menapak jalan sulit.

Tetapi hidup memang sering harus dijalani dengan di kanan-kiri ada mitos-mitos tertentu. Seperti dikatakan oleh Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, adanya tahap fungsionil itu bukan berarti menghapus tahap ontologis dan mitis. Kutipan di atas diucapkan Kennedy saat jadi Presiden AS, artinya Kennedy sedang membayangkan bagaimana jika olah kuasa itu dilekati bermacam mitos. Syed Hussein Alatas menunjukkan bagaiana mitos lazy native disebar oleh penjajah terhadap si-terjajah, dan itu bisa-bisa kemudian berarti cambuk melecut dengan ringannya. Atau memandang rendah sampai dasar pada si-terjajah. Mitos itu bisa menggerakkan sebuah perilaku yang bisa-bisa tak terduga, dan di luar perikemanusiaan. Karena mitos itu melekat dalam kuasa yang ada di tangan si-penjajah. Maka setiap mitos yang seakan lekat dengan kuasa itu, diperlukan sikap lebih dalam menyikapinya. Sebab bisa-bisa bukan lagi ‘hanya’ sekedar ada di kanan-kiri.

Apakah jika dikatakan bahwa setiap manusia itu adalah unik merupakan sebuah mitos? Dari bermacam informasi, bahkan kembar identik-pun pasti ada bedanya. Keunikan setiap manusia itu bukanlah mitos. Dengan ‘discomfort of thought’ kita bisa membuktikan bahwa itu bukan mitos. Apakah hidup bersama itu adalah sebuah keunikan? Yang bisa dibedakan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya? Dengan segala sejarah ditapak, dengan lingkungan sekitar berbeda, dengan bahasa berbeda, dengan segala kebudayaan yang berbeda, apakah kita bisa meraba keunikan masing-masing komunitas? Dari bermacam informasi kita bisa meraba bahwa memang sebuah  komunitas bisa berkembang dengan keunikannya masing-masing. Maka bisa dikatakan bahwa jauh di dalam sana ada satu pemikiran tentang ‘keunikan’, bahkan jika itu tentang manusia dan ketika ia hidup bersama dengan manusia-manusia lainnya.  Atau jika memakai istilah George Lakoff, ada ‘deep-frame’ soal keunikan ini. ‘Deep-frame’ dimana ia menjadi ‘tempat’ digantungkannya ‘surface-frame’. Masalahnya, ketika ada ‘deep-frame’ soal keunikan, tiba-tiba saja ada yang ‘nitip’ menggantungkan ‘surface-frame’: jangan dibanding-bandingkan misalnya. Atau ada ‘deep-frame’: tentang white supremacy, ada yang nitip menggantungkan baju lazy native pada yang sedang dijajah. Di jaman kolonial dulu. *** (18-10-2022)

 

Mitos Itu