www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-10-2022

Apresiasi tinggi terhadap tim redaksi Narasi.tv atas karya jurnalistiknya terkait dengan Tragedi Kunjuruhan (lihat. https://narasi.tv/video/buka-mata/momen-momen-brutal-menjelang-kematian-massal?autoplay=true&ref=pinned). Juga karya jurnalistik lainnya seperti karya Dhandy Laksana dkk yang tanpa lelah melakukan bermacam ekspedisi di republik, misalnya. Karya-karya Narasi.tv di atas, atau juga karya-karya Dhandy Laksana dkk, dalam beberapa hal bisa kita hayati sebagai salah satu bentuk ‘counter-power’ dari power-nya si-Big Brother Orwellian.

Jika saat menonton karya jurnalistik Narasi.tv terkait dengan Tragedi Kunjuruhan kita juga membayangkan proses pembuatannya, di situlah sebenarnya bagaimana ‘little brothers’ bisa melakukan perlawanan dengan lebih berdaya terhadap kekuatan Big Brother. Bermacam unggahan terkait dengan tragedi, baik dalam bentuk video atau gambar dikumpulkan dengan cermat oleh tim. Tim juga menerima kiriman bahan-bahan dari bermacam pihak. Selain itu tim juga berangkat ke lokasi, dan bertemu dengan bermacam sumber. Sebelum dilakukan kompilasi, tim memeriksa dulu keakuratan bahan, melakukan cek-silang cek-ulang sehingga the truth of correctness sungguh bisa dipertanggung-jawabkan. Dan akhirnya, kebenaran Tragedi Kunjuruhan-pun semakin menampakkan dirinya, the truth of disclosure.

Ada satu hal yang sebaiknya kita gali lebih dalam terkait dengan ‘laporan’ tim Narasi.tv di atas, mengapa itu dimungkinkan? Mengapa jempol-jempol itu kemudian bergerak dan mengunggah bermacam penampakan yang terekam dalam HP masing-masing –dan kemudian bisa menjadi ‘bahan’ laporan, misalnya. Apa yang menggerakkan? Keinginan untuk ‘viral’-kah? Sudah ‘kebiasaan’ apa-apa diunggah, terlebih ‘pengalaman’ yang mungkin banyak orang tak mengalami langsung? Marah? Sedih?

Ada salah satu ‘lembaga’ dalam diri yang sering kita lupakan, hati nurani. Terlebih dalam dunia yang maunya serba cepat ini. “Tetapi di lubuk hati kita tetap ada suatu keterarahan mutlak pada yang baik dan benar yang justru kita rasakan apabila berhadapan dengan situasi konkret yang bermasalah. Keterarahan itulah yang dapat disebut hati nurani,”[1] demikian Franz Magnis Suseno menjelaskan. Hati nurani adalah keterarahan hati pada yang baik, jujur, adil, setia, dst, suara hati adalah tanggapan hati nurani terhadap tantangan situasi dimana kita harus menentukan tindakan.[2] Keterarahan hati nurani pada yang baik, benar itu adalah mutlak, tak bisa ditawar-tawar.

Dalam bahasa Yunani Kuno, ada dua kata yang menunjuk pada istilah power: kratos dan dunamis. “Kratos as the basic for dunamis: whereas Kratos is something akin to our notion of material capability, dunamis is power exerted in action, like the concept of force in physics.”[3] Suara hati bisa dibayangkan sebagai ‘dunamis’ yang akan menampakan diri sebagai ‘displays of power’ melalui ‘material capability’: jempol dalam hal ini. Arche, kuasa yang ada di jempol. Lalu bagaimana soal hati nurani? Dari soal hati nurani inilah salah satunya kita bisa melihat perbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lain, soal keterarahannya pada yang baik, benar, jujur, adil, setia, dst. Maka tak mengherankan pula jika ada pemimpin yang keterarahannya pada hal baik, benar, jujur, adil, setia sangat-sangat tipis, katakanlah sebenarnya ia sekedar tukang-tipu saja, pagi-pagi ia sudah ‘dibaptis’ atau di-gelorakan sebagai ‘orang baik’. Mengapa? Kerena ‘mereka-mereka-si-pembaptis’ tahu persis, pada titik tertentu terlebih ketika dihadapkan pada peristiwa konkret, suara hati akan mengusik terus, keterarahan akan hal-hal baik, benar, jujur, akan terus menggelitik di kebanyakan orang, dan akhirnya seperti di Tragedi Kunjuruhan itu, dengan tanpa pamrih selain dorongan karena melihat tragedi kemanusiaan di depan mata, banyak yang kemudian memutuskan mengirim kesaksian langsung pada tim redaksi Narasi.tv itu. *** (19-10-2022)

 

[1] Ffranz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Penerbit Kanisius, 2006, hlm. 180

[2] Ibid, catatan kaki

[3] Richard Ned Lebow, The Power of Persuasion, dalam. Felix B, MJ Williams, Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 124

 

Little Brothers