www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-10-2022

Melihat bermacam peristiwa hari-hari terakhir ini, rasa-rasanya semakin terasa bahwa republik memang sedang dalam bahaya. Semakin lama semakin nampak apa yang disebut sebagai res-publika itu perlahan melenyap. Akar kata publik itu tak jauh dari akar kata pubis, tulang di bagian depan antara paha, sekitar kelamin. Bahkan tanpa menelusuri akar katanya-pun kita bisa merasakan bahwa bicara publik itu bicara soal manusia. Res-publika itu adalah urusan publik, urusan ‘manusia publik’. Bahkan ketika kita bicara ‘massa’-pun adalah juga manusia-manusia konkret yang kita bicarakan. Bukan pintu, bukan pula tangga atau stadion, atau soal sekian juta rupiah santunan. Sering jika sudah memberikan santunan sekian juta rupiah komplit dengan segala upacara penyerahannya, urusan kemanusiaan kemudian dianggap sudah selesai. Apakah itu yang dimaksudkan sebagai res-publika? Apakah res-publika itu dapat dijelaskan tanpa hadirnya manusia-manusia konkret? Mengapa kita bisa sampai di tepi jurang ini?

Apakah pada awalnya ketika keranjingan ‘jalan-sendiri-action-di-depan-kamera’ di lokasi musibah? Atau ketika tahu bahwa Machiavelli benar: betapa mudahnya ‘publik’ ditipu? Bahkan senang ditipu atau dirayu? Atau karena merebaknya ‘logika waktu pendek’ yang berangkat dari ranah media-massa itu? Rasa-rasanya yang terakhir ini bisa dikatakan sebagai the last resort, ‘andalan’ paling ujung ketika langkah-langkah lainnya kurang berkhasiat, atau kurang berhasil/gagal menuntaskan ‘tugas’-nya. Bahkan diam-diam sebenarnya sudah berubah menjadi semacam ‘kediktatoran waktu’.

‘Logika waktu pendek’ dalam ranah media massa terkait erat dengan soal ‘kecepatan’ dalam penyajian informasi. “Aktual, cepat, dan ringkas mendefinisikan logika waktu pendek”, demikian ditulis Haryatmoko.[1] Haryatmoko dalam Etika Komunikasi itu juga menyinggung soal ‘logika mode’. Logika mode berperan penting dalam penyebaran nilai hedonis karena memungkinkan diskualifikasi masa lalu, penghargaan terhadap yang baru (yang baru selalu tampak lebih baik) dan meyakinkan bahwa bisa membedakan diri dari kolektivitas (pilihanku adalah khas, tidak mengikuti yang dipakai kebanyakan orang).[2] Haryatmoko melanjutkan: “Logika mode itu ikut merusak ruang publik. Ia menggunakan media untuk mengubah ruang publik menjadi tempat pertunjukan. Akibatnya, politik juga dirubah menjadi panggung pertunjukan. Media yang diharapkan akan meningkatkan mutu debat publik dewasa ini justru cenderung mengubah politik menjadi tontonan.”[3]

Karena ‘demen’-nya pada ‘logika waktu pendek’ yang serba aktual, cepat, dan ringkas, maka kedalaman bisa-bisa minggir dulu. Menjadi korban yang paling depan. Dan bahkan kemudian bisa bergeser menjadi ‘logika ingatan pendek’. Apalagi jika digabungkan dengan ‘logika mode’ yang akan dengan sangat ringan men-diskualifikasi masa lalu itu. Politik tidak hanya kemudian menjadi tontonan atau pertunjukan, tetapi juga menjadi ‘parade-lupa’.

Ketika menunggu sahabat sedang menjalani operasi di ruang bedah, seorang perawat keluar dan mengatakan operasi baru saja dimulai dan akan berlangsung sekitar 1 jam lamanya, sambil menunjuk pada jam dinding di ruang tunggu. Jam dinding menampakan jam 10 (pagi), berarti akan selesai sekitar jam 11-an. Jam dinding itu sebenarnya bisa dikatakan bersifat ‘publik’, si-penunggu dan perawat yang menemuinya sama-sama bisa mengukur kapan 1 jam kemudian saat operasi selesai dilaksanakan. Ketika jam dinding menunjuk jam 11 maka si-penunggu bisa ke loket informasi menanyakan apakah operasi memang sudah selesai. Tetapi 1 jam yang dialami oleh si-penunggu itu bisa-bisa dirasakan 2 jam lamanya, sangat beda ketika ia ngobrol dengan sahabat karibnya –waktu cepat berlalu. Apa yang sungguh dialami si-penunggu di ruang tunggu operasi itu bisa dikatakan sebagai ‘waktu subyektif’ yang bersifat ‘privat’. Dan dalam penghayatannya jika dibandingkan dengan ‘waktu obyektif’ seperti ada di jam dinding itu, bisa mulur atau mungkret. Tetapi apakah jam dinding itu akan ada artinya bagi si-penunggu jika perawat tidak keluar dan memberitahu bahwa operasi akan berlangsung selama 1 jam sambil menunjuk pada jam dinding? Jadi ‘waktu obyektif’ yang bersifat ‘publik’ itu, secanggih apapun bahkan jika sampai hitungan nano-detik misalnya, ‘deep frame’-nya adalah ada di ‘waktu subyektif’. Apakah juga bisa dikatakan bahwa ‘yang publik-publik’ itupun sebenarnya mempunyai akar pada yang ‘privat’? Atau sehingga dimungkinkan munculnya ‘hak sosial’ itu justru karena kesadaran akan hal ‘privat’ seperti disinggung di atas? Atau juga kemudian ‘ruang publik’ itu menjadi mungkin? ‘Ruang-ruang publik’ yang kemudian menjadi dimungkinkan berkembangnya ‘republik’ sebagai ‘res-publika’ itu?

Lalu mengapa kemudian dikatakan ‘republik dalam bahaya’? Karena res-publika itu sudah meninggalkan apa yang menjadi dasar adanya, dan bahkan yang sungguh mendasar: ketika segala waktu itu tiba-tiba saja berhenti. Dalam Tragedi Kunjuruhan, lebih dari seratus warga perlahan waktu menjadi melambat, dan tiba-tiba saja berhenti. Dengan bantuan warga yang masih mempunyai waktu, apa yang dialami lebih dari seratus warga itu kemudian disuarakan di ruang-ruang publik, berharap menjadi res-publika. Dengan bermacam caranya, dinamika res-publika itu telah berusaha untuk membuka lapis-demi lapis tragedi, sehingga apa-apa yang dialami oleh lebih dari seratus warga semakin menampakkan kebenaran yang sesungguhnya. Mengapa, apa yang menyebabkan segala waktu bagi saudara-saudara kita itu menjadi mendadak berhenti selamanya. Tetapi apa yang kemudian dilakukan oleh si-pengelola republik? Apakah si-pengelola republik sedang berharap pada ‘logika ingatan pendek’ dan kemudian berharap pada ‘percepatan’ proses pen-dekualifikasi masa lalu? Maka, karena inilah sebenarnya ‘republik sedang dalam bahaya’. Apakah republik sedang ada di tangan ‘non-human intellegence’? *** (24-10-2022)

 

[1] Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Penerbit Kanisius, 2007, hlm. 10

[2] Ibid, hlm. 14

[3] Ibid

Republik Dalam Bahaya