www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-11-2022

Seorang pendidik bukanlah pendidik sejati jika ia tidak mengenal apa itu ‘kurikulum tersembunyi’ atau hidden curriculum. Dalam tingkat pendidikan tertentu justru kurikulum tersembunyi itulah yang utama. Pendidikan hitung-menghitung dalam pendidikan dasar bukanlah untuk mempersiapkan seorang murid untuk menjadi ahli berhitung atau ahli matematika, tetapi lebih untuk melatih logika misalnya. Atau pendidikan musik, atau juga astronomi dalam tingkatan pendidikannya, mempunyai kurikulum tersembunyinya masing-masing. Dalam pendidikan tinggi memang kurikulum tersembunyi akan lebih sempit, tetapi tetaplah ada, misal melatih peserta didik –katakanlah mahasiswa, soal profesionalisme. Atau lainnya.

Jika Mangunwijaya benar bahwa salah satu ‘tolok ukur’ dari kualitas suatu bangsa adalah bagaimana kekuasaan dikelola maka mestinya ada ‘kekuatan tersembunyi’ yang sungguh mendorong sehingga olah-kuasa itu juga sekaligus memperlihatkan kualitas komunitasnya. Atau kalau kita bayangkan segala teknik olah-kuasa itu sebagai surface frame, dimana ia akan digantungkan, atau dimana deep frame-nya? Apa-apa yang nampak di bertahun terakhir ini ternyata yang gencar digembar-gemborkan Pancasila sebagai deep frame itu justru hanya menuai nyinyiran saja. Mengapa ini terjadi, apakah hanya semata karena jatuh hanya sekedar lips service saja? Bahkan sebagai tirai asap untuk menutupi tingkah-polah yang sebenarnya? Ataukah sebenarnya ada yang lebih ‘mendasar’ dari, katakanlah, ideologi? Yang mendahului adanya ideologi? Apakah etika memang mendahului ideologi? Atau baiknya kita tinggalkan mana yang lebih dahulu, dan kita mengajukan pertanyaan berdasar pengalaman bertahun terakhir, bisakah kita bicara ideologi dengan meninggalkan masalah etika?

Paul Ricoeur dalam Lectures on Ideology and Utopia membedakan beberapa ‘fungsi’ ideologi, pertama seperti ditunjukkan oleh Karl Marx: sebagai camera obscura. Ideologi dalam fungsi distorsi-nya. Fungsi kedua adalah sebagai legitimasi, dan ketiga: integrasi. Dari bertahun terakhir mengapa etika seakan dilupakan dalam gembar-gembornya ‘ideologi’ nampaknya karena ideologi terhayati hanya sebatas camera obcsura dan legitimasi saja. Terlebih legitimasi untuk memukul yang beda. Sama sekali jauh dari fungsi integrasi-nya. Bahkan dalam praktek seakan memberikan ruang dan waktu seluas-luasnya bagi laku-kepongahan yang justru ujungnya adalah ‘dis-integrasi’.

Ketika ideologi lebih terhayati sebagai camera obscura maka memang dia tidak membutuhkan etika. Sebagai legitimasi, etika bisa-bisa ditinggalkan ketika kegilaan memukul lawan atas nama ideologi menjadi nafas utamanya. Tetapi ketika ia terhayati sebagai fungsi integrasi-nya maka etika akan selalu ikut dalam proses. Bahkan etika bisa-bisa menjadi deep frame ketika fungsi integrasi ideologi menjalani prosesnya. Etika menjadi tempat digantungkannya proses-proses integrasi ideologi.

Bayangkan sebuah profesi dengan bermacam mazhab tertentu, tetapi ia tetaplah punya code of conduct. ‘Bahan utama’ dari code of conduct itu adalah etika, katakanlah code of ethics. Mengapa bicara ideologi perlu berkembang juga soal etika? Nampaknya adalah soal ‘keliaran’-nya. Sama-sama berangkat dari imajinasi, tetapi ideologi lebih ‘liar’ dibanding etika. Paling tidak dinampakkan dari fungsi ideologi yang bisa jatuh dalam distorsi atau sebagai legitimasi yang ugal-ugalan. Sama-sama berurusan dengan manusia, manusia yang paham soal etika akan lebih mudah menghayati ideologi dalam fungsi integrasinya. Yang tak paham etika akan mudah ‘terjerumus’ dalam penghayatan ideologi sebatas distorsi saja. Atau menggunakan ideologi sebagai legitimasi secara ugal-ugalan. Dalam praktek, ideologi sering kemudian masalah belief, taken of granted saja, sedang dalam etika akan lekat dengan soal timbang-menimbang. ‘Latihan’ berperilaku etis akan membuat ketika ‘berhadapan’ dengan ideologi bisa diharapkan tidak secara short-cut saja dalam penghayatan, habis-habisan percaya, taken for granted. Karena sebenarnya, dalam praktek, ideologi akan selalu dihadapkan pada situasi-situasi yang terus berkembang. Hanya orang-orang yang terlatih berperilaku etis-lah yang akan membuat ideologi akan terus relevan.

Maka jika kembali pada pendapat Mangunwijaya di atas, olah-kuasa yang menjauh dari etika itulah yang membuat rasa-rasanya kualitas hidup bersama seakan meluncur ke bawah. Tidak hanya itu, tetapi juga justru Pancasila yang digembar-gemborkan itu seakan sudah sampai di ujung jurang kematiannya. Dibunuh oleh orang-orang yang tak tahu etika. *** (05-11-2022)

Kekuatan Tersembunyi Itu