www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-11-2022

Menurut Arnold J. Toynbee, “daya tembus sebuah pancaran budaya biasanya berbanding terbalik dengan nilai budaya sinarnya.”[1] Atau katakanlah, semakin tinggi nilai budaya akan semakin sulit menembus, tetapi semakin rendah nilai budaya akan semakin mudah menembus. Mungkin salah-satunya karena ini pula mengapa kita sering melihat pejabat di satu komunitas memutuskan mundur dari jabatan publik-nya karena melakukan kesalahan ‘kecil’ saja. Bahkan karena salah-ucap, atau keseleo lidah, tetapi kata-katanya itu menyakitkan ‘perasaan publik’. Atau tertangkap kamera melanggar lampu-merah. Mengapa hal itu sering pula tidak terjadi di komunitas lain?

Dari Rene Girard melalui teori segitiga-hasratnya kita bisa lebih memahami bagaimana modus tiru-meniru itu memang sangat lekat dalam hidup bersama. Katakanlah S (subyek) itu akan menghasrati O (obyek) melalui modus meniru dari M (model). Siapa yang akan menjadi model-nya? Macam-macam. Tetapi dari Pierre Bourdieu kita bisa melihat bahwa tindakan menghasrati sesuatu itu akan dipengaruhi oleh ranah, capital, dan habitus. Capital tidaklah mesti dalam bentuk uang, tetapi juga misalnya modal sosial, modal simbolik. Si-pemegang capital tertinggi dalam suatu ranah bagaimanapun ia bisa menjadi seorang model dalam teori segitiga-hasratnya Girard di atas. Dari hal-hal di atas maka contoh di awal tulisan dimana pejabat publik mundur karena hal ‘remeh-temeh’ semakin menampakkan alasan-alasannya. Ia sadar betul di ranah negara-bangsa ia bisa menjadi model. Model yang akan ditiru oleh kebanyakan orang, sadar atau tidak. Dan jika mengikuti Toynbee di atas, dan justru laku gombal yang nampak remeh-temeh itulah yang akan lebih mudah menembus dalam dinamika hidup bersama. Menembus dalam dinamika hidup khalayak kebanyakan, dan akan menggerogoti ‘habitus baik’ yang sudah terbangun dengan susah payah dalam waktu lama.

Ketika dalam suatu tugas-publik kunjungan ke satu tempat ada seorang pejabat lempar-lempar bingkisan pada khalayak dari jendela mobil yang berjalan pelan sambil pecingas-pecingis, dan kemudian ada yang mengatakan, ya salahnya khalayak sendiri mengapa mau diperlakukan seperti itu ..., benarkah? Atau kita bisa bertanya, apakah pejabat publik itu tidak sadar ia adalah pemegang capital tertinggi saat itu, mengapa ia kemudian memutuskan untuk melakukan itu? Kalau jaman old, pejabat-lah yang akan mengejar-ngejar khalayak kebanyakan untuk melaksanakan Pancasila. Lupa bahwa soal pelaksanaan Pancasila itu pertama-tamma adalah si-pejabat lebih dahulu, pengelola negara. Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 jelas menegaskan hal tersebut. Pengelola negara melaksanakan Pancasila melalui kebijakan-kebijakannya serta perilakunya. Jadi problemnya adalah bukan karena khalayak kebanyakan masih gembira-gembira saja diperlakukan seperti itu, tetapi pada si-pejabatnyalah problemnya. Ia tidak punya habitus yang selalu menempatkan khalayak kebanyakan itu sebagai yang mestinya sungguh dihormati. Pada ujung ‘radikal’-nya, yang seperti ini janganlah diharapkan untuk mengormati khalayak kebanyakan bahkan ketika nyawa-nyawa melayang dengan menyedihkan. Jangan diharapkan, karena jenis seperti ini sebenarnya tidak punya habitus yang kemudian mendorong ia untuk bertindak dengan sungguh peduli terhadap nyawa khalayak kebanyakan, bahkan untuk bertindak terhormat sekalipun ia tidak akan mampu. Habitus yang sudah terbentuk dalam dirinya membuat ‘tata-bahasa’ dalam bertindak sungguhlah mbélgèdès. Dan (bermacam) tindakan-tindakan yang mbélgèdès ini, yang ‘nilai budaya’-nya rendah, justru menurut Toynbee akan mudah menerobos masuk. Daya rusaknya sungguh hebat. Atau kalau memakai kata-kata Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu, ketika ia menyoroti soal mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan, pemimpin jenis seperti ini seakan justru mem-booster (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas suka menerabas, (3) sifat tak percaya pada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[2] ‘Pancaran-pancaran’ sinar budaya seperti itu akan lebih mudah diserap dibandingkan dengan sebaliknya yang bernilai lebih. Maka jadinya ya ... rusak-rusakan. Nyawa-nyawa saudara-saudara kita, anak-anak kita itu kemudian menjadi mudah melayang. Dan menjadi mudah pula dilupakan. Tanpa ada yang mau bertanggung-jawab. Menyedihkan. *** (06-11-2022)

 

[1] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Y.B. Mangunwijaya (ed.), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol, 1, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2,  hlm. 79-80

[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Penerbit PT Gramediaa, 1985, cet-12, hlm. 45

Hukum Perjumpaan Budaya