08-11-2022
Kalau diamat-amati judul di atas, yang ‘asli’ Bahasa Indonesia adalah kata ‘atau’. Revolusi, teror, dan mental adalah serapan dari bahasa asing. Dilihat asal katanya, ‘mental’ lekat dengan dinamika berpikir, dinamika intelektual. Pemakaian dilekatkan pada soal ‘kejiwaan’ dipakai dikemudian hari. Dalam KBBI, mental dilihat sebagai yang ‘bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga’.[1] Teror mental yang dimaksud adalah ketika muncul bermacam penampakan dipinggirkannya ‘akal sehat’ yang seakan berlangsung tanpa ujung lagi. Revolusi mental mestinya juga bukan saja soal ‘batin dan watak’ manusia, tetapi sebenarnya juga bagaimana soal keberpikiran.
Fanatisme adalah salah satu bahan bakar utama mengapa teror mental merebak. Fanatisme yang menampakkan dirinya dengan meninggalkan jauh di belakang soal keberpikiran. Tetapi yang berdaya-rusak besar adalah ketika teror itu di lakukan oleh negara. Termasuk teror mental ini. Karena teror mental ini kemudian akan ada dalam bayang-bayang ‘monopoli-penggunaan-kekerasan’ yang ada di tangan negara. Entah itu kekerasan melalui ‘hard-power’, dari pentungan, gas air mata, sampai senapan menyalak, atau tiba-tiba saja para sahabat hanya bisa mengenang nama dan perjuangannya saja. Selain ‘hard power’ juga kekerasan melalui ‘soft-power’, dari yang paling telanjang, penjara melalui bermacam rutenya, sampai dengan yang nampak tidak kasat mata tetapi sangat bisa diendus bau busuknya, sandera kasus, misalnya. Bahkan bisa-bisa sampai ‘dimiskinkan’ melalui bermacam cara busuk dan licik.
Tetapi bagaimanapun juga fanatisme ini akan berperan pula terhadap ‘teror negara’ pada warga-negaranya sendiri. Ia seakan memberikan ‘legitimasi’ bagi negara untuk melakukan teror, apapun itu bentuk terornya. Kuasa itu ia bagaimanapun juga perlulah legitimasi. Tidak ada kuasa tanpa legitimasi, kecuali kuasa si-Pencipta. Adanya kelompok-fanatik ini salah satunya untuk membangun legitimasi untuk laku ugal-ugalannya, selain juga itu bisa untuk menyamarkan apa yang sesungguhnya sedang dikerjakan. Jadi ada ‘simbiosis-mutualisme’. Tetapi gambar besarnya adalah, sejarah menunjukkan bahwa teror-negara terhadap warga-negaranya sendiri lebih menunjukkan sifat otoritarianismenya. Contoh telanjang adalah fasisme, yang menurut Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practie (1935) fasisme bisa menjadi ‘pilihan’ untuk menyelesaikan ‘dilema’ antara demokrasi dan aksi ‘ambil-untung’, profit yang setinggi-tingginya. Melalui demokrasi katakanlah, buruh ingin dapat upah setinggi-tingginya, tetapi si-kapitalis ingin profit setinggi-tingginya juga. Atau dalam beberapa konteks, bukan hanya profit dari si-kapitalis, tetapi juga dalam ‘kapitalisme-kroni’, dan juga nampaknya cuan setinggi-tingginya dari si-pemburu rente. Dalam ‘dilema’ itulah bisa-bisa fasisme menjadi pilihan solusi. Fasisme itu berdiri di atas segala kekumuhan teror, base on terror. Tidak yang lainnya. *** (08-11-2022)
[1] https://kbbi.web.id/mental