www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-11-2022

Akuntabilitas adalah serapan dari bahasa asing. Apakah ada beda dengan responsibilitas? Apakah keduanya diterjemahkan sama-sama sebagai ‘pertanggung-jawaban’? Ada yang mengartikan responsibilitas sebagai ‘tanggung-jawab’. Sedang akuntabilitas sebagai ‘pertanggung-jawaban’.[1] Mengapa bicara soal tanggung jawab, akuntabilitas-responsibilitas? Karena kita dalam hidup bersama ini akan selalu dihadapkan oleh salah satu dahsyatnya kekuatan-‘senjata’ kuno yang tidak akan pernah hilang: tipu muslihat. Tipu-muslihat yang bisa mengambil bentuk macam-macam, mulai dari ‘sihir’ yang mengurung seakan tidak ada pilihan lain, atau muncul melalui bermacam mitos, sampai dengan tipu-tipu yang datang dengan begitu telanjangnya.

Bicara soal tanggung-jawab dalam hidup bersama sebenarnya lebih bicara soal ‘kultural’. Seperti keutamaan lainnya, perlu waktu lama sehingga soal tanggung-jawab ini menjadi bagian dari keseharian. Menjadi bagian dari kultur-korporasi, misalnya. Tetapi hal baik, keutamaan-keutamaan yang hidup berkembang dalam hidup bersama, habitus-habitus baik yang sudah ‘mendarah daging’ dalam hidup bersama, bisa-bisa dengan mudah digerogoti bukan lebih karena adanya perjumpaan budaya-budaya, tetapi biasanya lebih karena faktor ‘struktural’. Yang dimaksud dengan ‘struktural’ ini adalah struktur-struktur kuasa, dan lebih pada ranah negara –negara dengan apparatus-apparatusnya. Bertahun terakhir kita bisa melihat bagaimana hal-hal baik yang akan selalu disemai dalam keluarga, atau lingkungan sekolah pada pendidikan dasar misalnya, atau lingkungan terdekat ketetanggaan, justru seakan digerogoti terus di ranah negara. Maka bicara upaya kultural memang tidak boleh berhenti, tetapi dalam waktu bersamaan, perhatian tidak boleh lepas dari hal ‘struktural’ yang mempunyai potensi besar justru sebagai penghancur utama upaya kultural itu. Memang bisa juga ada ‘klaster-klaster’ tertentu yang seakan ‘imun’ terhadap daya hancur apparatus-apparatus negara yang fakta potensialnya memang berdaya rusak tinggi.

Atau coba kita bayangkan bagaimana jika tanggung-jawab dan pertanggung-jawaban itu melenyap dalam hidup bersama? Atau kalau kita lebih fokus pada olah-kuasa di ranah negara yang seperti disebut di atas, mempunyai potensi daya rusak besar dalam hidup bersama, dari mana datangnya tanggung jawab itu? Apakah ada hubungannya antara legitimitas dan akuntabilitas-responsibilitas? Jika kita bayangkan ada input-proses-output, maka legitimitas lebih ada di input, sedang akuntabilitas-responsibilitas ada di proses dan output. Meskipun sebenarnya dalam proses memperoleh legitimasi itupun akuntabilitas juga bisa sangat berperan, karena sebenarnya dalam proses merebut legitimitas itu juga melibatkan input-proses-output juga. Bayangkan sebuah pemilihan umum, pastilah ada input-proses-output-nya, dan pengalaman menunjukkan bahwa kecurangan itu bisa ada di tahap input, proses, dan output-nya. Yang di otak maunya curang saja, tentu ia pagi-pagi sudah bermain di input, macam-acam bentuknya.

Atau coba kita lihat dari kaca-mata pembedaan terkait ‘merebut kekuasaan, merebut legitimasi, merebut hegemonia’ dan soal menggunakan kekuasaan, soal arche.[2] Maka perbedaan antara rejim monarki, aristokrasi, dan demokrasi-pun bisa dilihat dari dua hal ini, soal legitimitas dan akuntabilitas-responsibilitas. Kita bisa melihat bahwa legitimitas dari si-mono dalam monarki didapat dari ‘semesta’ atau bahkan Pencipta Semesta. Soal akuntabilitas-responsibilitas? Ya hanya pada pemberi legitimasi. Melalui macam-macam gaya dan pernak-pernik upacaranya. Khalayak kebanyakan tidak bisa tanya pada si-mono mengapa ia melakukan ini dan itu. Kalau toh ada pertanyaan maka ia tidak wajib menjawab. Bahkan jika ia sudah membusuk menjadi tirani, yang tanya-tanya itu bisa-bisa malah ditangkapi. Dalam rejim aristokrasi, si-aristo, si-terpilih karena terbaik, relatif ia mendapat legitimasi dari ‘peer-group’-nya, dan kalau toh ada pertanyaan ia hanya wajib menjawab pada peer-groupnya saja. Atau kalau mau ‘meluas’, ya hanya pada si-mono saja jika ia ternyata hidup berdampingan bersamanya. Jika khalayak mempertanyakan mengapa ia melakukan ini atau itu, ia tidak wajib menjawab. Bagaimana dengan rejim demokrasi? Demos memilih pemimpin, dan dengan itu pula legitimitas diperolehnya. Jika demos –rakyat, tanya maka ia sebenarnya wajib menjawab. Dalam tanya-jawab itulah akuntabilitas sedang berlangsung. Bahkan dalam waktu-waktu tertentu, tanpa ditanya oleh rakyat-pun ia berkewajiban menjelaskan apa-apa yang sudah dilakukan.

Krisis merupakan kata serapan dari bahasa asing, yang awal pengertiannya terkait dengan perjalanan suatu penyakit. Sampai pada titik tertentu apakah penyakit itu akan menuju perbaikan atau malah sedang menyongsong kematian.[3] Krisis tanggung jawab yang dimaksud dalam judul adalah ‘penyakit’ yang diungkap oleh Koentjaraningrat hampir 50 tahun lalu, sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh,[4] seakan sudah sampai pada titik tertentu, dan sedang menyongsong ‘kematian’ hidup bersama. Adakah indikasinya dalam hal ini?

Bukan karena hanya selalu ngacir saat didemo, tetapi terlalu banyak peristiwa yang sebenarnya kesibukannya adalah soal legitimitas. Semestinya setelah pemilihan, semua yang di luar pemerintahan kesibukan utama jika ingin terlibat dalam ranah-negara adalah soal responsibilitas dan akuntabilitas ini. Tetapi dari bermacam penampakan, dari bermacam peristiwa, dari bermacam asal njeplak-asal mangap, kesibukan soal legitimitas ini seakan meminggirkan soal responsibilitas-akuntabilitas. Bayang-bayang sedang membangun sebuah monarki-pun bisa-bisa akan dirasakan semakin kuat baunya. Dan bagaimana jika bayang-bayang monarki itu ada dalam bayang-bayang lemahnya si-calon-mono? Di tengah-tengah terpinggirkannya responsibilitas-akuntabilitas? Akankah para ‘bangsawan’, atau calon-calon ‘bangsawan’ itu akan cakar-cakaran sendiri untuk memperebutkan siapa yang ada di lingkaran 1, siapa yang ada di lingkaran 2, dst? Dengan segala ‘konsekuensi’ lanjutannya, segala kenikmatan yang bisa-bisa tanpa batas itu? Sungguh menggiurkan. Maka jika tidak hati-hati, krisis tanggung-jawab ini bisa-bisa hidup bersama jatuh seperti situasi Haiti di Amerika Tengah sono. Haiti yang hidup bersamanya kacau balau karena brutalnya perang antar geng. *** (13-11-2022)

 

[1] https://icopi.or.id/makna-akuntabilitas-dan-responsibilitas-konteks-manajemen-kepatuhan/

[2] https://www.pergerakankebangsaan.

com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

[3] https://www.etymonline.com/word/

crisis

[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, hlm. 45

Krisis Tanggung Jawab