www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-11-2022

Segala hoax-hoéx itu akan selalu ada, dan di era digital ini akan lebih sering dibanding era mesin cetak, manuskrip, maupun oral. Karena bahkan meski sudah dijelaskan, di-klarifikasi, di-counter, tetaplah akan masih ada yang percaya. Klarifikasi atau counter tetap akan menyisakan yang masih ngèyèl untuk percaya akan hoax itu. ‘Pasar opini’ ini bisa menjadi sedemikian bebas se-bebas-bebasnya. Kekuatan-senjata kuno itu: tipu-muslihat, seakan hadir dengan sedemikian telanjangnya. Seakan seperti mencairnya permafrost karena perubahan iklim yang dengan itu kemudian juga melepas virus-virus kuno untuk hidup lagi menebar bermacam penyakit. Virus-virus berpuluh-tahun, beratus-tahun, beribu-tahun dalam keadaan ‘dormant’ di bekunya tanah, jauh di bawah permukaan. Ketidak-pastian lanskap hidup bersama serasa komplit, tidak hanya di ‘basis’ tetapi juga di ‘bangunan atas’.

Tontonan dalam olah-kuasa sudah ribuan tahun berlangsung. Di jaman Yunani Kuno dikenal istilah ‘roti dan sirkus’ dalam upaya mengendalikan ‘yang banyak’. Atau lihat bagaimana digambarkan soal pemahkotaan raja-ratu. Bahkan bagaimana ia dimakamkan, contoh aktual, pemakaman Ratu Elizabeth beberapa waktu lalu. Apakah dalam ‘the society of the spectacle’ seperti disinyalir oleh Debord –kurang lebih 13 tahun sebelum buku Geertz terbit, Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali, itu kemudian menempatkan ‘tontonan’ sebagai ‘axis mundi’? “The spectacle is not a collection of images, rather, it is a social relation among people, mediated by images,” demikian tegas Debord (Tesis 4). Tetapi seperti ditegaskan oleh Debord, kegandrungan akan representasi ini akan meminggirkan ke-otentikan hidup.

Dalam sebuah tontonan, selain kuatnya cerita dan skenario, keberhasilan tontonan di awal-awalnya akan ditentukan juga oleh pengarah-peran (casting director). Seorang pengarah-peran ia akan mempelajari sungguh-sungguh cerita dan alur ceritanya, dan kemudian komunikasi dengan sutradara serta penyandang dana, dan dengan itu pula ia akan mencari aktor-aktor yang sesuai. Bisa melalui audisi, atau langsung menemui agen aktor yang sudah dirasa tepat. Dalam sebuah lakon tentu ada pemeran utama, dan pemeran pembantu. Dan peran-peran lainnya. Dalam banyak tontonan di TV, ada kemiripan dari hasil kerja pengarah-peran ini. Jika si-J adalah pemeran utama yang akan menonjol atau ditonjolkan dalam serial itu misalnya, maka akan dipilihlah aktor-aktris sekitarnya yang tidak berpenampakan ‘dominan’ atau lebih kuat. Maka ‘aktor-aktris utama’ menjadi utama dalam tontonan kemudian tidak hanya soal alur-cerita, tetapi juga tidak lepas dari ‘lingkungan sekitar’, terutama peran aktor-aktris sekitar. Seakan ‘aktor-utama’ itu menjadi ‘axis-mundi’ dunia tontonan yang sedang dihadirkan pada pemirsa. Dan dengan itu maka tontonan menjadi ‘enak dilihat’ oleh kebanyakan penonton. Tidak semua tontonan memakai ‘logika’ seperti ini, tetapi ‘kelemahan’ ini pasti akan ‘ditutup’ misalnya dengan tehnik penyutradaraan tertentu, misal seperti yang ada di serial NYPD Blue.

Jika benar yang disinyalir oleh Debord di atas, katakanlah bahwa tontonan bukan sekedar lagi kumpulan dari bermacam images, tetapi sudah seakan memediasi bermacam relasi dalam masyarakat, maka bisa dikatakan bahwa memang tontonan-tontonan itu sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Sudah menjadi ‘langgam’ hidup keseharian. Bahkan mungkin memberikan pengaruh besarnya. Tetapi dalam peristiwa tertentu, pada titik tertentu kita akan dihadapkan pada situasi yang sebenarnya harus dihadapi melalui cara-cara tertentu, jauh dari langgam hidup sehari-hari. Terlebih ketika dihadapkan pada kematian sebagai kemungkinan. “Gouverner, c’est prevoir, to govern is to foresee,” demikian Emile de Girardin (1806-1886) seorang jurnalis Perancis pernah mengungkapkan: hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat dahulu ke depan. Dan di depan itu adalah bermacam kemungkinan. Bermacam tantangan dan kesempatan. Tetapi seorang pemimpin tidak hanya dihadapkan bermacam kemungkinan atau tantangan di masa depan, tetapi juga adanya kemungkinan yang membuat semua kemungkinan itu menjadi tidak mungkin lagi, kematian. Bahkan kematian sebagai kemungkinan itu akan segera hadir begitu ia naik sebagai seorang pemimpin. Bukan rasa takut, tetapi jelas akan ada rasa cemas ketika sadar apa yang sudah hadir begitu ia naik menjadi pimpinan itu. Hanya tersisa sedikit waktu saja untuk glécénan, jegègèsan, pecingas-pecingis, sok-sok-an, gegayaan, atau untuk menikmati sebagai bagian utama dari sebuah tontonan. Maka keputusan atau apapun strategi dalam menghadapi bermacam kemungkinan, bermacam tantangan, bermacam kesempatan, akan selalu ada dalam bayang-bayang kematian sebagai kemungkinan. Kematian republik dalam hal ini. Atau juga kematian Reformasi. *** (14-11-2022)

 

Kematian Reformasi Sebagai Kemungkinan (2)