www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-12-2022

Soal merebut kuasa itu bisa berbeda dengan saat menggunakan kuasa, demikian Machiavelli menandaskan dalam Sang Penguasa. Sebuah pendapat yang bisa saja mempunyai rentang kemungkinannya cukup luas. Atau jauh sebelum Machiavelli menulis Sang Penguasa, pada jaman Yunani Kuno dibedakan antara hegemonia dan arche. Hegemonia adalah sebuah ‘hak’ untuk memimpin yang diperoleh karena jasa-jasanya, karena prestasinya. Misal karena memimpin pasukan untuk berperang dan memenangkannya. Sekali hegemonia ada di tangan maka ia segera berubah menjadi arche, yang sifatnya akan selalu hirarkis. Yang lekat juga dengan: kontrol. Maka ‘merawat’ hirarki kemudian menjadi salah satu tujuan utamanya dalam ‘menghayati’ arche.

Dalam rejim demokrasi, hak untuk memimpin itu tidak berdasarkan keturunan, atau bahkan tidak berdasarkan siapa-siapa yang terbaik. Tetapi diperoleh melalui jalan pemilihan. Memang yang diharapkan adalah yang terbaik, dan di banyak negara demokrasi, siapa-siapa yang terbaik telah disiapkan oleh masing-masing partai politik. Tentu di luar partai politik masih dimungkinkan munculnya yang terbaik ini, maka ada calon independen. Maka pula banyak yang menetapkan batas-ambang calon presiden adalah nol persen. Atau jika partai gagal dalam mempersiapkan kader terbaiknya, ia bisa melakukan ‘perburuan’ yang terbaik ini dari luar partainya. Tentu ada hal-hal yang mesti disepakati bersama lebih dahulu.

‘Yang terbaik’ di ranah demokrasi itu tidak hanya ‘yang terbaik’ untuk merebut kuasa, tetapi juga semestinya ‘yang terbaik’ saat menggunakan kuasa. Tidak hanya soal merebut hegemonia –terkait dengan ‘elektabilitas’ misalnya, tetapi juga saat hegemonia itu sudah ‘berubah’ menjadi arche. Rejim demokrasi sebenarnya sudah ‘memikirkan’ hal ini, makanya ada ‘oposisi’, atau dalam bahasa halus, ada yang disebut sebagai pilar-pilar demokrasi itu. Tidak hanya trias-politika, tetapi ditambah juga dengan masyarakat sipil, pers, dan juga sekarang ditambah dengan sosial-media. Yang semua itu sebenarnya lebih pada soal memberikan keseimbangan saat hegemonia ‘berubah’ menjadi arche.

Setiap bentuk rejim pastilah akan menghadapi ‘oposisi’, karena bagaimanapun juga yang sedang pegang kuasa itu akan selalu dihadapkan pada ‘yang banyak’, the rest. Baik pada rejim monarki maupun aristokrasi, ‘oposisi’ dihadapi dengan ‘penjinakan’ melalui bermacam ‘sihir’. Menjadi ‘busuk’ ketika bermacam ‘sihir’ itu menemui batas-batasnya, dan kemudian ia mengambil jalan kekerasan, maka jadilah yang kemudian dikenal sebagai rejim tirani dan oligarki itu. ‘Oposisi’ dalam rejim demokrasi ‘dijinakkan’ tidak melalui sihir, tetapi karena ia bisa minta pertanggung-jawaban dari yang sedang berkuasa. Bermacam bentuk ‘oposisi’ itu pada dasarnya adalah ‘memaksa’ penguasa dalam rejim demokrasi untuk mau secara terbuka mempertanggung-jawabkan penggunaan kuasa di tangan pada ‘yang banyak’. Entah di parlemen dimana ‘oposisi’ ikut hadir sebagai wakil rakyat. Atau memberikan penjelasan-penjelasan pada pers. Atau juga melalui kanal-kanal sosial media. Responsibilitas itu kemudian mewujud juga sebagai akuntabilitas.

Sekitar pertengahan abad 19, di Amerika sono berkembang apa yang kemudian disebut sebagai spoils system, dimulai ketika idolanya Trump, Andrew Jackson, naik jadi presiden. Tetapi akhirnya spoils system ini di akhir abad 19 kemudian disepakati untuk tidak dilakukan lagi. Pengalaman menunjukkan bahwa spoils system ini justru mendorong inefisiensi, inkompetensi, dan ujung-ujungnya merebaknya korupsi. Bahkan ada yang mengatakan sistem tersebut ikut bertanggung jawab atas pembunuhan Presiden James Garfied pada tahun 1881.

Sebelumnya banyak kalangan yang sudah muak dengan perilaku para ‘spoilsmen’ ini. Spoils system adalah si-pemenang pemilu kemudian secara ugal-ugalan membagi-bagi bermacam pos dalam pemerintahan kepada para pendukungnya. Semuanya diambil dan dibagi-bagi pada para pendukung. Tanpa batas lagi. Termasuk jabatan-jabatan karir dan yang sebenarnya memerlukan kualifikasi kompetensi tertentu. Intinya, rusak-rusakan. Dan yang rusak-rusakan ini untungnya segera diputuskan untuk tidak dilaksanakan lagi, menjelang abad 19 berakhir. Ada jabatan-jabatan yang harus dijauhkan dari proses-proses politik. Dan dasar naik-turunya jabatan tersebut adalah soal prestasi, meritokrasi.[1]

Presiden AS James Garfield terbunuh oleh dua tembakan dari senjata yang dibawa oleh ‘pencari-kerja’ yang frustasi oleh tebalnya tembok spoils system. Atau kalau kita bayangkan secara ‘terbalik’, apa yang akan dilakukan oleh para ‘spoilsmen’ itu ketika ia ada dipenghujung akan selesainya masa jabatan si-patron[2]? Akankah ia akan mati-matian berusaha memperpanjang periode jabatan si-patron meski itu sebenarnya (soal pembatasan masa jabatan) sudah diatur dalam Undang-undang? Atau ia akan menebar ancaman pembantaian siapa-siapa yang menghalangi perpanjangan masa jabatan si-patron? *** (01-12-2022)

 

[1] https://theconversation.com/trump-revived-andrew-jacksons-spoils-system-which-would-undo-americas-138-year-old-professional-civil-service-150039

[2] Spoils system ini sering disebut juga sebagai patronage system

Pergeseran Dari Hege-monia ke Arche Itu (1)