www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-7-2018

Sebagai sebuah nama, Pakatan Harapan –koalisi partai-partai yang memenangkan pemilu beberapa waktu lalu di Malaysia, bisa sebagai titik tolak refleksi. Pakatan adalah pakta atau aliansi, dan yang menjadi bahasan di sini adalah kata kedua, harapan. Bagi Hannah Arendt, dalam Human Condition, sebuah kelahiran adalah juga sebuah ‘ke-baru-an’ yang akan menggelitik rutinitas. Dan ke-baru-an karena ‘natalitas’ ini merupakan prakondisi bagi tindakan politik dan syarat mutlak bagi kemungkinan adanya sebuah harapan. Maka bagi Arendt, kapasitas dalam berharap dan kapasitas dalam tindakan politik secara esensial terjalin erat.[1]

Tidak ada sebuah ideologi yang di dalamnya tidak ‘menggendong’ harapan. Hanya saja harapan dalam ideologi adalah harapan yang sudah ‘menyatu’ dengan ‘sihir’. Tetapi meski Daniel Bell berpuluh tahun lalu menulis The End of Ideology, harapan tidak pula ikut serta-merta ‘the-end’. Jelas harapan jauh lebih tua daripada ideologi. Dan bisakah kita membayangkan hari-hari depan tanpa harapan? Jika kita memakai pendapat Arendt di atas, selama ada kelahiran maka harapan-pun akan tetap ada. Demikian pula, tindakan politik.

Bukan “sihir’ harapan yang dilekatkan oleh ideologi sehingga harapan menjadi begitu penting, sebab tanpa ‘sihir’-pun harapan akan selalu ada dan penting. Harapan tidak hanya bisa mewujud sebagai energi, tetapi juga peta. Ketidak-pastian di lubuk paling dasarnya adalah salah satu situasi yang selalu dihindari atau membuat tidak nyaman manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk menghadapi ketidak-pastian, contoh misal, dulu ada GBHN. Paling tidak harapan lima tahun ke depan sudah ada ‘sedikit’ kepastian atau paling tidak ada gambaran peta yang akan dijalani. Bagaimana jika sekarang misalnya, GBHN sudah tidak ada? Maka ‘haluan-haluan’ arah negara-pun secara garis besar ada dalam program-program para kontestan pemilihan, sebenarnya. Program-program yang sebagian besar ditangkap oleh kebanyakan rakyat melalui janji-janji kampanye, dan dengan itu pulalah rakyat kebanyakan mencari kesamaan atau kemiripan dengan harapan-harapannya.

Lewat permainan, manusia menginisiasi terbangunnya kebudayaan, demikian J. Huizinga dalam Homo Ludens.[2] Manusia tidak hanya bisa menjinakkan binatang, tetapi juga ternyata mampu menjinakkan berbagai hasrat liarnya, dan dalam banyak hal itu melalui permainan atau game. Perebutan kekuasaan-pun berkembang semakin ‘beradab’, salah satunya melalui prosedur-prosedur demokrasi perwakilan. Bermacam harapan itu saling bersaing untuk perwujudannya, dan salah satu yang efektif mempunyai daya ungkit terbesar dalam mewujudkannya adalah kekuasaan (power). Secara tak sadar sebenarnya kita sedang ‘bermain’ sebuah ‘permainan’ perebutan kekuasaan. Maka, terinspirasi pemikiran N. Driyarkara, ada pesan yang sebaiknya selalu kita ingat demi berkembangnya peradaban bersama, jangan permainkan permainan. Jika harapan-harapan dipermainkan, kita khawatir jika secara tak sadar perlahan kita terjebak dalam ‘permainan yang dipersungguh’. Republik ada untuk mengembangkan peradaban bersama, dan bukan sebaliknya. *** (12-7-2018)

 

[1] Claudia Bloeser, Titus Stahl, Hope, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/hope/#HopePoliPhil

[2] J. Huizinga, Homo Ludens, Routledge & Kegan Paul, 1949

Harapan

gallery/driyarkara

N. Driyarkara