www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-12-2022

‘Jual-beli’ waktu hanyalah terjadi pada ‘waktu obyektif’ –waktu ‘publik’. Lima belas menit waktu jeda –waktu obyektif yang memang semua (publik) bisa bersama-sama mengukur lamanya, dalam sepak bola bisa-bisa mahal sekali harganya, terlebih dalam gelaran Piala Dunia. Tetapi meski begitu toh iklan-iklan akan antri juga untuk bisa tampil di televisi. Macam-macam alasan orang untuk ‘membeli waktu publik’ ini. Bagaimana dengan ‘waktu subyektif’ –waktu privat? Misal, ketika panas-dinginnya adu pinalti hadir di layar kaca itu akan diganti dengan hal lain karena sudah ‘terjual’? Tidak mungkin karena memang tidak bisa ‘dijual’. Orang bisa beda dalam berdebar, dalam bersorak, dan dalam menangis kecewa, dan itu tak bisa ‘dijual’, bahkan untuk ‘dipinjamkan’ sekalipun. Meski itu jika diukur dengan ‘waktu obyektif’ hanya berlangsung tidak lebih dari 5 menit misalnya. Demikian juga soal kenikmatan 5 menit, 10 menit, satu jam, dan seterusnya, saat seks sedang berkeringat. Waktu ‘subyektif’ yang bisa mulur-mungkret itu sungguh hal privat, orang lain tidak akan pernah merasakan hal yang sudah dilaluinya itu. Orang lain akan mengalami hal-hal privat seperti itu sendiri-sendiri. Dalam moment-moment-nya sendiri-sendiri.

Bagaimana jika Wilhelm Reich (1897-1957) hidup saat KUHP yang baru itu diketok palu? Dan melihat soal pasal pidana hubungan seks di luar pernikahan itu? Mungkinkah ia akan melihat ini pertama-tama bukannya soal konservatisme agama, tetapi soal potensi naiknya fasisme? Yang tentu apa yang terjadi di Iran saat inipun akan masuk dalam tinjauannya pula? Sebab bagaimanapun juga, ‘filsuf raja’ a la Iran itupun bisa berkembang sebagai fasisme pula. Tetapi isu utamanya bagi Reich adalah : fasisme. Bagi Reich, terkekangnya kehidupan seksualitas akan memberikan ladang subur bagi berkembangnya fasisme.

When Joseph S. Nye Jnr. who has been a vocal criticc of realism, asked US Secretary of Defense Donald Rumsfeld about the concept of “soft power”, Rumsfeld replied ‘I don’t know what “soft power” is’.[1] Kutipan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bagi ‘pengikut’ die hard realisme, hanya kekuatan kekerasan (hard power) yang akan ‘menyelesaikan masalah’. Atau dalam konteks bahasan di atas, bukan di pundak si-‘filsuf raja’ fasisme akan ditegakkan, tetapi di tangan yang pegang senjata. Maka siapa-siapa yang pegang senjata menjadi sangat penting. Siapa pegang komando untuk bergerak dan tidak bergeraknya senjata-senjata itu. Maka pula jika perlu, waktupun akan dibeli demi kesempatan naiknya orang-orang dekat, kroninya, orang-orang kepercayaan, dan bahkan jika mungkin masih kerabat dekat, naik ke puncak komando dari yang pegang senjata-senjata itu. Dan dengan itu pula fasisme ditegakkan. Dan dengan itu pula dilema antara demokrasi dan aksi ambil untung (terutama yang sungguh ugal-ugalan, terutama lagi soal rent seeking activities dan penguasaan gila-gilaan bermacam sumber daya alam) seperti dinampakkan oleh Harold J. Laski hampir 1 abad lalu itu, diselesaikan dengan ‘jalan gampang’. Jalan fasisme. *** (11-12-2022)

 

[1] Brian C. Schmidt, Realist Conception of Power, dalam Felix Berenskotter, MJ. Williams (ed.), Power in Wprld Politics, Routledge, 2007,  hlm. 62

Membeli Waktu