www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-01-2023

Berita perang akibat invasi Rusia ke Ukraina hari-hari ini banyak disesaki oleh baku-tembak di kota Soledar, Ukraina. Rusia dengan komandan baru-nya menyatakan klaim bahwa Soledar sudah dikuasai sepenuhnya, sedang pihak Ukraina menolaknya. Kata pihak Ukraina, perang masih berlangsung dengan serunya. Dari salah satu pengamat, klaim kemenangan Rusia itu menjadi penting untuk ‘menyangga’ moralitas tentara-nya sehingga tidak kempès. Dari sini kita membayangkan pendapat Abraham J. Heschel, seorang rabbi Yahudi sekitar 60 tahun lalu, bahwa ‘teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang tersebut, tetapi teori tentang manusia bisa mengubah eksistensinya’. Teori tentang ‘manusia-yang-memenangkan-perang-di-Soledar’ itu misalnya, menjadi penting bagi pihak Rusia setelah mengalami pukulan mundur berkali-kali.

Si-Bung sudah memperingatkan terkait dengan masalah besar di-seberang jembatan emas. Dan dari perjalanan sejarah kita bisa melihat bahwa di-seberang jembatan emas itu ternyata ‘perang’ belum juga berakhir, dalam arti bagaimana cita-cita Proklamasi diwujudkan. Bukan terutama perang dalam ranah hard-power, tetapi terlebih ‘perang’ dalam ranah soft-power. Dalam praktek, ‘perang’ di ranah soft-power ini bisa kita bayangkan dengan meminjam pendapat Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu, yaitu perang melawan : (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya pada diri-sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Kadang dalam studi pasca-kolonialis hal-hal ini akan disinggung, tetapi setelah menyatakan kemerdekaan lebih dari 70 tahun mungkin ada baiknya hal-hal di atas juga kita tempatkan sebagai bagian dari horison. Horison dimana dengannya kita akan menempatkan kemajuan sebagai fakta-fakta potensial. Kemajuan yang akan menjadi terdukung dengan melawan bermacam sifat mentalitas seperti disebut di atas. Dan ideologi apapun, agama apapun akan melihat ke-lima hal di atas tentu sebagai hal positif. Tidak ada hal berlawanan dengan ‘doktrin-doktrin’ yang ada. Tetapi jelas juga di-seberang jembatan emas bermacam sifat mental mbèlgèdès seperti diungkap Koentjaraningrat bisa-bisa menjadi, katakanlah, pupuk jitu bagi berkembangnya habitat perampokan segala kekayaan republik. ‘Peradaban’ yang disesaki oleh ke-lima mentalitas mbèlgèdès adalah ‘peradaban’ yang akan memberikan keleluasaan untuk memainken faktor-faktor ‘struktural’ dengan semau-maunya demi perampokan kekayaan republik, penuh dengan keserakahan tiada batas lagi. Maka, ada imajinasi kuat untuk membangun peradaban bersama dengan melawan kecenderungan mentalitas seperti di atas, tetapi di lain pihak ada yang ingin mempertahankan atau bahkan jika mungkin mengembang-biakkan mentalitas mblègèdès seperti di atas. Dan suka atau tidak, itu juga ‘perang’ di ranah soft-power. ‘Yang politikal’, the political sebagai the friend-enemy distinction –menurut Carl Schmitt, sebenarnya sudah jelas : pada yang ingin ‘menghapus’ kelima mentalitas mbèlgèdès di satu pihak, dan di lain pihak yang ingin ‘melanggengkan-dan-bahkan-mengembang-biakkan’ kelima mentalitas mbèlgèdès, disitulah politik dimungkinkan untuk berkembang. Bukan lagi ‘perang ideologi’ atau apapun itu mau disebut. *** (18-01-2023)

 

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet. 12, hlm. 45

Soledar