www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-7-2018

Samuel Brittan dalam Kata Pengantar bukunya Bertrand Russell, Power (2004), menandaskan bahwa ada perbedaan vital antara ‘power over commodities’ dan ‘power over human beings.’ Brittan juga mengutip Keynes dalam General Theory , terbit tahun 1936, yang juga menegaskan: It is better that a rich man should tyrannize over his bank balance than over his fellow men.”[i]

30 tahun kemudian setelah welfare state mendominasi pasca Perang Dunia II, paradigma minimal state yang diusung oleh neoliberalisme tampil sebagai yang dominan. Satu-demi-satu representasi dari yang kontra minimal state berguguran, termasuk di tahun 1998 ketika Orde Baru tumbang. Negara yang minimal, dimaksudkan sebagai negara sebagai ‘penjaga malam’ saja –siang tidur, malam berjaga atas harta yang diperoleh dari pertarungan bebas di siang hari, adalah prasyarat bagi bebasnya lalu-lintas modal dalam logika pasar bebas murni. Sebagai prasyarat bagi mulusnya ‘politik pintu terbuka’. Sebagai prasyarat hadirnya gelanggang pertarungan bebas dalam pasar bebas. Dan bukan dalam ‘fungsi sosial’nya. Militer sebenarnya masih diterima dalam konsep minimal state sebagai fungsi pertahanan. Demikian juga fungsi-fungsi kepolisian dan pengadilan, selama tidak men-distorsi logika pasar bebas murni.

Pemilu 1999 adalah menakutkan bagi masa depan minimal state di Republik, paling tidak menurut ‘mereka’. Kenapa? Cobalah lihat bagaimana posko-posko PDI Perjuangan merebak saat itu. Suasana kebatinan saat itu jika di-manage secara benar maka potensi menabrak secara frontal ide minimal state bisa-bisa menjadi fakta faktual. Maka ‘dibagilah’ lima tahun itu dalam ‘dua periode’. Mungkin yang ‘membagi’ sangat paham ‘psikologi euforia’ kekuasaan lima tahunan: tahun-tahun pertama ugal-ugalan, tahun-tahun terakhir akan sok populis. Maka dengan berbagai rute, singkat cerita SBY naik ke tampuk kepresidenan di tahun 2004. Dan bahkan sampai 2014. Secara figur SBY mungkin dianggap sebagai figur nahkoda yang cocok untuk perahu minimal state. Dan SBY, suka-tidak-suka, ternyata mampu menyeimbangkan antara tuntutan atau desakan minimal state dan aspek kedaulatan. Mungkin latar belakang militer masih membuat tidak begitu saja secara membabi-buta membangun minimal state. Yang secara membabi-buta di-distorsi (oleh ‘mereka-mereka’ juga) sebagai salah-satunya, lemahnya militer.

Di satu sisi, 30 tahun setelah paradigma neoliberalisme mulai merangkak, terjadi krisis subprime mortgage yang menggoncang. Di sisi lain di Rusia, Putin semakin berhasil dalam mengkonsolidasikan kekuasaannya. Juga naik-turunnya cerita kekuasaan Hugo Chavez. Dan juga, kisah sukses Erdogan di Turki. Dan tak boleh dilupakan, geliat raksasa China. Juga Inggris dengan Brexit-nya. Dan terakhir, kemenangan Mahathir Mohamad di Malaysia dengan salah satu isu utama: maruah[ii] negara-bangsa. Ternyata yang disebut dengan minimal state itu bagi banyak negara tidak berarti (dan memang sebenarnya tidak) sekaligus sebagai negara yang lemah. Jika bebasnya lalu lintas modal itu jauh dilubuk hatinya ada paradigma invisible hand, sebagian besar yang berhasil lolos dari ‘jebakan’ minimal state itu kelihatannya tetap meyakini bahwa di belakang invisible hand itu akan selalu ada iron fist. Sejarah memberikan pelajaran itu, dan bagi kita hikayat VOC di Nusantara tidak jauh dari diktum tersebut.

Di bawah Yeltsin, deregulasi dan privatisasi –yang lebih dikenal sebagai ‘insider privatization’ atau ‘oligarch privatization’,[iii] dilakukan secara ugal-ugalan, dan dalam waktu singkat lahirlah para oligark Russia yang super kaya. Kendali negara secara perlahan beralih ke tangan para oligark. Sementara kas negara berangsur menjadi cekak, dan bahkan untuk membiayai hulu ledak nuklir-pun tidak ada biaya. Ketika Putin naik ke tampuk kekuasaan, tali kekang ditarik kuat untuk mengekang ugal-ugalannya si-kuda hitam, para oligark. Dan mengalirlah kekayaan sumber daya alam Russia sebagian besar ke kas negara. Dan Russia-pun akhirnya mampu lagi merawat dan membiayai hulu ledak nuklirnya. Yang ingin mencaplok Russia dengan kekuatan uang-pun akhirnya harus berpikir ulang. Tidak hanya senjata, tetapi juga hutang-hutang ke Bank Dunia dan IMF-pun mampu dilunasi. Apa yang terjadi di Rusia adalah sebuah kegagalan bagi para oligark, kegagalan melakukan ‘kudeta merangkak’. Bagaimana Republik pasca pilpres 2014? Jika ingin menghentikan ‘kudeta merangkak’ oleh komplotan oligarki-pemburu rente maka sebaiknya kita selalu fokus pada #2019gantipresiden. Tidak ada jalan lain untuk memulainya *** (23-7-2018)

 

[i] Samuel Brittan, Preface dalam buku Bertrand Russel, Power, Routledge, 2004, hlm. xii-xiii

[ii] Maruah = martabat

[iii] Simon Saragih, Bangkitnya Rusia. Peran Putin dan Eks KGB, Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 2

Kudeta Merangkak Itu

gallery/putin

Inagurasi Putin