www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-7-2018

“Revolutions in democracies are generally caused by intemperance of demagogues ...”[1] demikian peringatan Aritoteles sekitar 2000 tahun lalu. Selanjutnya Aristoteles menuliskan: “.....the demagogue was also a general, and then democracies changed into tyrannies. Most of the ancient tyrants were originally demagogues.”[2]  Aristoteles memotret bagaimana laku demagog akan meretakkan demokrasi tersebar di beberapa halaman Politics. Dua kutipan di atas contohnya. Apa yang disinyalir oleh Aristoteles di atas, kiranya gaungnya tetap terasa sampai sekarang. Tetapi ada satu hal perlu diperhatikan di sini, apakah demagog yang dibayangkan oleh Aristoteles 2000 tahun lalu masih sama dengan ‘rasa’ demagog zaman milenial ini?

 

 

 

 

 

 

Demagog adalah kata serapan asing dalam bahasa Indonesia, yang menurut J.S. Badudu berarti “pemimpin yang pandai menghasut rakyat untuk membangkitkan semangat dengan tujuan memperoleh kekuasaan”.[3]  Demagogue sendiri dari asal katanya berarti: demos (rakyat) + agogos (pemimpin). Tulisan ini merupakan ‘keterangan tambahan’ dari tulisan sebelumnya, “Kambing Hitam Itu”,[4] khususnya pada bagian yang membahas ‘duo demagog’, dengan beberapa pengembangan.

Zaman Aristoteles -2000 tahun lalu, para demagog jelas andalan utamanya adalah kemampuan oral, kemampuan bicara melalui mulut. Dan mungkin juga ditambah gerak-gerak tubuh sebagai pendukungnya. Zaman now, ada radio, ada televisi, ada internet-sosial media. Juga ada majalah dan surat kabar. Pesan yang keluar dari mulut demagog 2000 tahun lalu hanya sebatas ruangan atau paling luas lapangan kecil. Sekarang? Pelipat-gandaan jangkauan telah begitu dahsyat.

Perkembangan dalam studi neuroscience memberikan masukan pada kita tentang multimodalitas –bagaimana kita menangkap berbagai pesan dengan beragam modus, beragam cara, baik itu melalui teks-teksnya –isinya, pendengaran, penglihatan, dan bahkan bau! Dan juga konteks dan situasi yang berkembang. Maka jaman now, jaman milenial ini, seorang demagog tidak mesti harus pegang megaphone atau mikrofon yang tersambung pada penggeras suara. Dengan situasi sudah terbangun, seorang dengan gerak tubuh (body language) bisa menjadi seorang demagog yang tidak kalah dahsyat outcomenya dengan ‘demagog klasik’. Turun got, bawa gitar ke KPK, berdekat-dekat dengan rakyat, sok blusukan, bisa menjadi laku seorang demagog. Apalagi ditambah dengan rombongan COD: ‘the childrens of demagogue’, para ‘demagog-demagog digital’[5] itu.

Demagog, baik yang ‘klasik’ maupun ‘demagog milenial’ salah satu persamaannya adalah manipulasi. Manipulasi dari akar katanya berarti keahlian dalam menangani suatu obyek, dan kemudian meluas artinya ketika manusia juga dianggap sebagai obyek semata. Maka tak heran jika kemudian COD tidak hanya para ‘demagog digital’ itu, tetapi juga para pembantu-pembantu presiden yang terhormat ketika omong seenaknya pada rakyat. Rakyat yang semata dipandang sekedar sebagai obyek. Dan seperti sudah diingatkan oleh Aristoteles lebih 2000 tahun lalu, demokrasi akan retak di tangan para demagog. Anda sudah merasakan? *** (24-7-2018)

 

[1] Aristotle, Politics, (1304b:20) hlm. 220

[2] Ibid, (1305a: 10), hlm. 221

[3] J.S. Badudu,  Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2003, hlm. 52

[4] Kambing Hitam Itu, https://www.pergerakankebangsaan.com/029-Kambing-Hitam-Itu/

[5]Lihat juga: Kate Lamb, 'I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories, https://www.theguardian.com/world/2018/jul/23/indonesias-fake-twitter-account-factories-jakarta-politic

 

 

Demagog Zaman Milenial dan COD-nya

gallery/disgusted
gallery/aristoteles