www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-7-2018

Melihat tayangan Discovery Channel tentang penyelamatan pesepak-bola cilik dan pelatihnya yang terjebak dalam gua bawah tanah di Thailand beberapa waktu lalu, sungguh mengharukan. Nuestro modo de proceder (cara kita bertindak) dari para pemimpin setempat mendorong tidak hanya sumber daya lokal, tetapi juga sumberdaya internasional tergerak untuk membantu. Tergambarkan dalam tayangan tersebut bagaimana tidak mudahnya medan. Juga bagaimana para keluarga dari korban terus berharap tanpa henti.

Atau cobalah lihat film Chuck Norris, Missing In Action. Atau juga bagaimana tulang-belulang tentara yang mati dalam perang dan dikembalikan negara asal, dibalut dengan bendera negara-bangsanya. Atau dekat dengan rumah waktu kecil dulu, ada kerkop tempat menyemayamkan pastor-pastor dulu, termasuk yang warga negara Belanda. Juga orang-orang Belanda dulu dimakamkan di situ. Kadang ada yang digali, dibawa ke negara asal oleh keluarganya. Tidak ada satu-pun yang kemudian berkomentar, ngapain buang-buang uang dan waktu, misalnya. Mengapa? Karena hal-hal di atas semua berurusan dengan manusia, dan bukan yang lain!

Nuestro modo de proceder sebagai istilah dipakai oleh pengikut-pengikut Loyola sejak sekitar 500 tahun lalu. Nuestro modo de proceder atau cara kita bertindak adalah khas antara satu orang dengan lainnya, antara satu komunitas dengan lainnya, dan mungkin juga, antar satu bangsa dengan lainnya. Modo de proceder atau cara bertindak terkait memilih pemimpin pada tradisi konfusius selalu dalam koridor shangshangce[1], misalnya. Memilih selalu dalam koridor ‘yang terbaik dari terbaik’. Bagi perusahaan, nuestro modo de proceder mungkin dekat dengan istilah corporate culture.

Kembali kepada tayangan Discovery Channel tentang penyelamatan korban di gua bawah tanah Thailand, dapat kita lihat bagaimana peran pimpinan setempat dalam merespons situasi. Tepat sekali yang ditulis oleh Chris Lowney dalam Heroic Leadership bahwa ‘kepemimpinan tidak didefinisikan oleh skala peluang, melainkan oleh kualitas respons terhadapnya.’[2] Tidak jauh dari Arnold J. Toynbee ketika bicara tentang minoritas kreatif terkait dengan respon terhadap tantangan.

Cobalah lihat respon dari pimpinan dan aparat menyikapi tragedi tenggelamnya kapal di danau Toba baru-baru ini. Respon maksimalkah? Dan sungguh mengagetkan pula ketika aparat menjawab supaya nyelam sendiri jika tidak puas! Apa-apaan ini?! Dan apa respon pimpinan tertinggi negri ini atas jawaban aparat yang sungguh mbèlgèdès itu? Diam seperti ketika pembantu-pembantunya omong se-enak perutnya ketika menjawab masalah yang membelit rakyat? Inilah modo de proceder ketika ordo medioker sedang berkuasa. Persis seperti yang sudah lama disinyalir oleh Napoleon: ‘when small men (baca: anggota-anggota ordo medioker) attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level their mediocrity.’

Maka ketika ‘revolusi mental’ keluar dari mulut pemimpin semacam ini, jangan pernah sekali-kali mudah percaya –jasmudper. Cukup sekali saja kita tertipu. Dan menyitir pepatah Belanda, peringatan si Bung dalam tulisan Menjadi Guru Di Masa Kebangunan, sangatlah mengena: ‘Men kan niet onderwijzen wat men wil, Men kan niet  onderwijzen wat men weet. Men kan allen onderwijzen wat men is” –“Manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hati, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya.” Dan maukah kita diajari oleh anggota-anggota ordo medioker itu? Kalau saya, tidak. *** (31-7-2018)

 

[1] Lihat, Shangshangce, https://www.pergerakankebangsaan.com/018-Shangshangce/

[2] Chris Lowney, Heroic Leadership, Penerbit Gramedia, 2005, hlm. 22

'Nuestro Modo de Proceder' Ordo Medioker

gallery/disgusted