www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-8-2018

Machiavellisme, Schmittian, Hobbesian, atau yang ‘senada’ selalu ada dalam spektrum, tidak bisa dalam satu garis tegas. Setiap orang selalu ada sisi gelapnya. Maka bicara si-Machiavellis adalah ketika Machiavellisme ada dalam bobot dominan. Dan dengan bobot dominan tersebut, guru-guru Machiavellis akan mengajarkan ‘ketrampilan’ tertentu pada ‘sang pangeran’. Ketrampilan pertama adalah jangan sungkan-sungkan untuk berbohong. Tebarlah semua janji yang ‘menghanyutkan’ massa atau rakyat. Kenapa? Karena janji yang ditebar dan bagaimana janji itu harus ditepati tidak ada hubungan sama sekali. Satu-satunya hubungan adalah keduanya semata permainan pikiran. Tidak lebih dari itu.

‘Pagi kedelai, sore tempe’ adalah salah satu bentuk ketrampilan kedua yang mesti tidak hanya diketahui, tetapi harus dihayati sebagai satu tindakan yang ‘tulus’, otentik. Kebanyakan orang itu ada adalah untuk ditipu. Ditipu dengan berbagai angan yang menghanyutkan. Ditipu dengan gerak tubuh dan olah kata yang menghibur. Jadi jangan pernah ragu ketika tiba saatnya untuk menipu. Menipu harus otentik, karena rakyat kebanyakan pertama-tama adalah masalah yang dilihat, dan bukan yang lain. Jadi janganlah sungkan bicara A yang baik meski di masa lalu justru berkelakuan sebaliknya. Ini bukan masalah konsistensi, tetapi tampil di depan rakyat sesuai dengan harapan yang berkembang. Bagi guru Machiavellis, kelicikan adalah ketrampilan ekstra yang bisa membawa berkah.

“Selalulah dalam posisi ‘yang baik’,” demikian guru Machiavellis akan berkata terkait dengan ‘ketrampilan’ ke tiga. ‘Yang baik’ adalah milik ‘sang pangeran’ sedangkan yang buruk, yang jahat adalah milik para punggawa yang ada di-ekor. Yang jahat dan kejam itu adalah para pembantu. Yang bodoh dan kasar pada rakyat itu adalah para pembantu ‘sang pangeran’. Dan, sekali lagi, bukan ‘sang pangeran’, karena ‘sang pangeran’ hanya berurusan dengan ‘yang-baik-baik’ saja. Selalu menyalahkan orang lain adalah bukanlah laku tidak terhormat. Justru itulah yang harus dilakukan oleh ‘sang pangeran’.

Tetapi bagaimana dengan diktum ‘lebih baik ditakuti dari pada dicintai’? Dicintai pertama-tama adalah untuk konsumsi rakyat kebanyakan, demikian guru Machiavellis akan berkata. Ditakuti pertama-tama adalah untuk elit-elitnya, demikian guru Machiavellis akan melanjutkan. Rakyat kebanyakan adalah untuk ditipu, tetapi elit-elitnya harus ditakut-takuti, demikian guru Machiavellis menyimpulkan pada ‘sang pangeran’. Maka berceritalah guru Machiavellis kepada ‘sang pangeran’ hal ihwal ‘politik hasrat’.

Akhir sesi guru Machiavellis minta supaya ‘sang pangeran’ menghayati hal ihwal ‘hegemonia dan arche’ (lihat: Dari Hegemonia ke Arche, https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/). *** (2-8-2018)

Para Machiavellis Itu

gallery/machiavelli2

Niccolo Machiavelli