www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-8-2018

Rusia macam apa yang kami miliki?” demikian penggalan kegundahan Alexi Pushov, seorang komentator televisi Rusia seperti dikutip Washington Post (30/8/1998) ketika menggambarkan kondisi Rusia era Yeltsin dengan segala kegemasannya. Bagi kebanyakan warga Rusia, Yeltsin sudah dipandang sebagai simbol stagnasi dan frustasi ketimbang kemajuan.[i] Duapuluh tahun kemudian, kita di Republik semakin terasa pula dorongan untuk mengajukan kegundahan yang sama: “Republik macam apa yang kami miliki?

Bagi warga negara, dia hanya bisa menggapai negara, menggapai republik melalui para penyelenggara negaranya, demikian Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practice. Karakter dari suatu negara hanya bisa dilihat dari karakter pemerintahannya. Maka ketika seorang Presiden menerangkan kondisi ekonomi negara dengan gerak tubuh glécènan sambil pecingas-pecingis, dan semakin muak ketika jejak digital memungkinkan melihat ulang lagi, maka: “Republik macam apa yang kami miliki?” Ketika Lombok didera gempa beruntun dengan korban yang tidak sedikit, penyelenggara negara tidak kunjung menetapkan sebagai bencana nasional karena alasan turisme, maka: “Republik macam apa yang kami miliki?

Belajarlah dari pengalaman, demikian kata bijak sering terdengar. Yeltsin mungkin menghadirkan kegundahan yang dalam, tetapi sebenarnya adalah ‘berkah’ juga bagi rakyat Rusia, paling tidak era Yeltsin memberikan pelajaran berharga. Demikian juga 4-7 tahun terakhir di Republik. ‘Jalan Machiavelis’ itu (lihat: ‘Kata Machiavelli’, https://www.pergerakankebangsaan.com/118-Kata-Machiavelli/) telah mengharu-birukan Republik dan perlahan memotong habis potensi-potensi kenegarawan anak-anak bangsa. Republik yang merdeka dengan berdarah-darah ini seakan dibawa total semata sebagai layaknya sebuah pertunjukan saja. Rakyat diasumsikan tidak hanya sebagai penonton yang hanya perlu dihibur saja, kelamnya: penonton yang bodoh. Maka: “Republik macam apa yang kami miliki?

Aksi Bela Islam dengan bersih setelah aksi-nya beberapa waktu lalu, sungguh sebenarnya menunjukkan salah satu potensi ‘loncatan peradaban’ yang mungkin bisa terjadi di Republik. Dan tentulah banyak yang akan berusaha potensi itu untuk tidak menjadi sebuah fakta faktual. Mereka yang ingin terus menguasai kekayaan alam Republik akan berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan potensi itu. Mereka para Machiavellis itu, persis seperti dikatakan Machiavelli: “Orang lebih mudah melupakan kematian leluhurnya daripada kehilangan warisan leluhurnya.[ii] Kalau Putin membereskan masalah era Yeltsin dengan menarik tali kekang kuda hitam, menjinakkan para oligarki, di Republik masalah tidak jauh berbeda. Beda-besar-nya adalah kedalamannya. Oligarki era Yeltsin adalah para robber barons yang relatif baru, sedang di Republik sudah lama-meluas dan begitu mengakar. Bagi mereka kaum oligarki-pemburu rente itu, ‘warisan leluhur’ adalah akumulasi kekayaan dengan keserakahan tanpa batas. Tidak mudah, dan tidak akan ada yang mengatakan itu mudah untuk melakukan seperti Putin di Rusia. Tetapi, bukankah merebut kemerdekaan dulu juga tidak mudah? Kita bisa tuh ...... *** (20-08-2018)

 

[i] Simon Saragih, Bangkitnya Rusia, Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 39

[ii] Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 69

"Republik Macam Apa Yang Kami Miliki?"

gallery/indonesia
gallery/machiavelli
gallery/lempar1
gallery/lempar2