www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-8-2018

Apakah perbudakan sebuah kejahatan? Pada masa tertentu, menjalankan perbudakan dan sekaligus mempunyai budak banyak justru menaikkan status sosial. Hapusnya perbudakan dan kemudian menjadi suatu kejahatan membutuhkan satu proses panjang hingga pada satu titik dunia sepakat mengutuknya. Dengan runtuhnya Tembok Berlin dan dunia menuju pasca Perang Dingin, demokrasi dan logika pasar bebas yang merebak, kediktatoran abad XX-pun mulai dengan cepat kehilangan legitimasi dan pendukung-pendukungnya. Dunia seakan sepakat menempatkan para diktator itu sebagai layaknya seorang penjahat. Jika kita memakai pembedaan sumber kekuatan dari Alvin Toffler, kekerasan (violence), uang (wealth) dan pengetahuan (knowledge) maka semakin nampak bahwa diktator abad XX adalah salah satu bentuk persekutuan erat antara kekerasan dan uang. Dan pengetahuan didikte untuk mengabdinya.

Abad XXI diprediksi Toffler kekuatan pengetahuan akan memainkan peran pentingnya, akan ada power shift. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa kekuatan uang adalah satu bentuk kekuatan yang begitu lincahnya dalam membangun persekutuan. Akankah terbangun persekutuan yang erat antara kekuatan uang dan pengetahuan sebagai salah satu bentuk dari power shift ini? Dan kemudian mewujud sebagai ‘kediktatoran’ ala abad XXI? Wacana post-truth semestinya bisa dibaca sebagai ‘tanda-tanda jaman’ akan mewujudnya potensi kediktatoran abad XXI ini.

Abad XX kejahatan terhadap demokrasi lebih dihayati sebagai kejahatan elektoral, dimana dengan kekuatan kekerasan dan uang proses atau prosedur elektoral diberbagai tahapannya ‘ditekan habis’ demi langgengnya kekuasaan. Yang pegang senjata akan menjadi andalan utama. Sedang pengetahuan via media massa akan ‘terpaksa’ mengabdi pada sang penguasa. Abad XXI, bukan lagi yang pegang senjata andalannya, tetapi yang terampil di atas keyboard. Media massa yang dulu didikte oleh yang pegang senjata, sekarang sudah merasa di atas angin, dan mampu mendikte bermacam orang. Bots-bots dalam dunia internet-digital telah menjadi senjata manipulasi yang andal. Para spin-doctors menjadi komandan-komandan perang untuk menaklukkan rakyat, si-demos.

Kratos, kekuasaan yang semestinya di tangan demos, rakyat, di abad XX ditelikung oleh rejim kediktatoran dengan kekuatan kekerasan, dan label ‘yang jahat’-pun disematkan pada sang penguasa. Sama-sama berupaya menelikung demos-kratos, di abad XXI ini di sementara (banyak?) negara menelikung dengan andalan utamanya kekuatan pengetahuan. Penelikungan via media komunikasi ini tentu bukannya monopoli abad XXI, masalahnya adalah kedalaman, keluasan, intensitasnya yang memungkinkan dalam praktek menjadi tidak tahu batas. Dan pada titik inilah kita bisa mulai bicara kejahatan atas demokrasi. ‘Yang jahat’ terhadap demokrasi di abad XXI ini.

Juga kita bisa bicara, akankah disebut ‘penjahat demokrasi’ bagi calon yang secara telanjang telah menipu rakyat? Menjanjikan ini-itu-ona-anu, tetapi dalam praktek setelah berkuasa sebagian besar kebijakannya berlawanan dengan janji-janji yang ditebar? ‘Pengingkaran yang otentik’ karena begitu yakin akan kemampuan ‘tentara-tentara’ manipulasi-nya di ranah pengetahuan via media massa? *** (22-8-2018)

Kejahatan Terhadap Demokrasi

gallery/keyboard