www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-8-2018

Dalam satu akun twitter, ada 2 video yang merupakan bagian dari pembukaan dua pesta olahraga, disandingkan dengan tambahan keterangan: plagiarisme.[i] Kedua pesta olahraga itu adalah Olimpiade 2012 di London Inggris, dan Asian Games di Jakarta-Palembang, 2018 ini.

Pada video pembukaan Olimpiade London 2012 yang melibatkan Ratu Elizabeth[ii] itu, durasi video 6 menit 15 detik. Dibuka datangnya Daniel Craig sebagai James Bond dengan naik taksi khas kota London ke Istana Buckingham menjemput Ratu. Penyebutan dan pemakaian sosok James Bond sejak awal kelihatannya mengindikasikan bahwa ini adalah semata hiburan saja, entertainment. Menit ke 2 detik 20 digambarkan James Bond dan Ratu naik helikopter ke stadion tempat pembukaan, karena waktu yang sudah mepet. Menit ke 3, patung Winston Churchill bergerak memberi salam kepada helikopter yang melayang di atasnya. Sekali lagi, ini menunjuk dan menegaskan juga bahwa video ini sekedar hiburan, dan tidak lebih dari itu. Singkat cerita, helikopter sampai di atas stadion tapi si-James Bond ragu-ragu untuk terjun payung. Maka pada menit ke 4 detik 38, seorang dengan pakaian mirip yang dikenakan oleh Ratu menyalip James Bond untuk terjun tanpa ragu, baru si James menyusul, diiringi oleh theme song dari film James Bond. Dan menit ke 6 detik 25, Ratu Elizabeth keluar rapi menuju podium. Tidak dengan helm, atau tas parasut yang masih di punggung. Dan penonton-pun maklum bahwa yang terjun itu pastilah bukan Ratu. Bukan hanya karena sudah tua, tetapi sejak awal memang sudah diyakinkan bahwa video itu semata hiburan saja, dan bukan yang lain.

Mengapa bukan David Cameron yang digambarkan dalam video? Mungkin memang pilihan paling tepat adalah Ratu, tetapi mungkin juga ada pertimbangan lain, kesungkanan dari pihak panitia maupun Cameron sendiri supaya tidak dituduh merebut panggung Olimpiade untuk kampanye politik misalnya. Ratu tidak dipilih, tetapi PM jelas secara tidak langsung akan erat dengan pemilihan.

Power distance adalah istilah yang dipopulerkan oleh Geert Hofstede di awal tahun 1970-an. Pada tahun 1967-1973, Hofstede membuat penelitian di antara pekerja-pekerja IBM di seluruh dunia, dan salah satu yang diteliti adalah soal power distance ini. Power distance yang dimaksud adalah ketika A sang pemegang otoritas, dan B yang ada di bawahnya, bagaimana si-B ini menerima dan mengharap ketika power, otoritas terdistribusikan secara tidak merata. Katakanlah, bagaimana si B menerima kenyataan dan bersikap terkait dengan fakta bahwa power dia ada di bawah si A. Power distance yang rendah berarti si B senyatanya tidak begitu saja mau menerima ke-tidak-merata-an distribusi otoritas itu, sehingga menjadi tidak serta-merta kemudian gampang ikut saja perintah dari si A. Sedang pada power distance yang tinggi, ketika si-A (pemegang otoritas) mampu bilang, ‘lu tempatnya di sana, dan kerjakan ini’, maka si-B pun akan dengan serta-merta menerimanya dengan lapang dada. Tanpa banyak cakap atau menuntut untuk didiskusikan bersama lebih dulu.

Penelitian Hofstede ini bisa dibilang berlangsung di tengah-tengah puncaknya Perang Dingin, di tengah-tengah ketika banyak penguasa otoriter mendapat ‘dukungan diam-diam’ dari dua belah pihak seteru Perang Dingin. Maka tidak heran jika kemudian power distance ini menjadi melebar untuk ‘membaca’ atau mengkategorikan komunitas, atau bangsa-bangsa. Inggris masuk dalam kategori power distance yang rendah, sehingga kemudian bisa dikatakan kecil kemungkinan munculnya penguasa otoriter di sana. Dengan asumsi ini maka menjadi lebih jelas mengapa video Pembukaan Olimpiade 2012 seperti disebut di atas itu terkesan juga sebagai begitu hati-hati sehingga tidak terjadi mispersepsi ke ranah politik. Hiburan ya hiburan, titik.

Pasca Perang Dingin dan masuk abad XXI, power distance ini masih bisa kita gunakan sebagai alat analisa. Dan tentu dengan sedikit menggeser imajinasi kita tentang yang otoriter itu, dimana ke-otoriter-an abad XX yang penuh darah dan kekerasan itu kita geser dengan ke-otoriter-an yang penuh muslihat dan tipu di Abad XXI, era post-truth. George Orwell[iii] mestinya akan setuju dengan ini. Maka bisa dikatakan bahwa satu komunitas dengan power distance tinggi, sang penguasa akan merasa di atas angin untuk semau-maunya tebar janji, semau-maunya omong seenaknya terkait dengan hajat hidup orang banyak. Semau-maunya pasang aksi norak. Asumsinya: apa yang mereka omongkan, rakyat pasti akan dengan mudah setuju. Atau celakanya: akan mudah ditipu. Tentu ini akan dibantu all-out oleh ‘tentara-tentara’ manipulasi-nya yang bekerja purna-waktu dengan senjata andalan mereka: keyboard. *** (23-8-2018)

 

[i] https://twitter.com/do_ra_dong/

[ii] https://www.youtube.com/watch?v=1AS-dCdYZbo

[iii] Pengarang novel 1984

'Power Distance' di Dua Pesta

gallery/bond
gallery/jokowi karnaval