www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-10-2018

Lost generation biasanya dikaitkan dengan generasi yang lahir sebelum atau sekitar Perang Dunia I, dan mengalami tumbuh-kembang sebagai anak dalam segala kekurangannya, terutama asupan gizi sebagai akibat perang. Demikian juga ketika krisis, kekhawatiran akan merebaknya lost generation selalu membayang. Sebaliknya, ketika situasi begitu menjanjikan, tingkat asupan gizi pada anak-anak kita pada tingkat yang optimal, kita-pun bisa berharap berkembangnya ‘generasi emas’.

Reformasi tidaklah hanya masalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta demokratisasi-nya, tetapi ia mestinya adalah ‘seorang ibu’ yang juga akan melahirkan generasi-generasi yang jauh dari semangat korupsi, kolusi dan nepotisme, serta sebuah generasi demokrat. Bagi kaum nurturan, era milenial yang penuh dengan produk-produk sarat dengan pengetahuan ini, mau-tidak-mau akan juga ikut membesarkan generasi-generasi di atas. Pengetahuan telah berkembang menjadi salah satu entitas yang sifatnya ‘demokratis’, dalam arti siapa saja bisa mengaksesnya. Dan era pengetahuan ini juga akan segera nampak ke-seiringan-nya dengan semangat reformasi beserta anak-anak atau generasi yang dilahirkan atau dibesarkannya.

Maka bagi yang mencintai generasi milenial ini, yang sekaligus juga merupakan anak-anak yang lahir atau dibesarkan selama era reformasi ini, adalah menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan situasi positif sehingga potensi meritokrasi dan demokratisnya berkembang maksimal. Meritokrasi jelas akan berhadapan langsung dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Apa yang menjadi lawan langsung dari demokrasi? Untuk itu kita harus sampai pada esensi demokrasi, yaitu kepercayaan (trust). Hanya dengan kepercayaannlah maka kedaulatan yang ada di tangan rakyat itu akan diserahkan dan disepakati  pelaksanaannya pada segelintir orang yang dipercayanya. Bahwa dalam proses membangun kepercayaan itu selalu ada ruang manipulasi melalui berbagai teknik propaganda, tetap saja tidak bisa menghapus hal kepercayaan sebagai yang mendasar.

Maka bagi yang sungguh mencintai generasi milenial ini, bagi yang terpilih dan dipercaya sebagai pelaksana maupun sebagai ‘pengawas’ pelaksana, mewujudkan janji-janji kampanye sungguh merupakan hal yang mendasar. Tidak hanya terkait dengan esensi demokrasi itu sendiri, tetapi juga ini masalah bagaimana kita ‘membesarkan’ generasi milenial yang kita cintai bersama ini. Tontonan vulgar terkait dengan pengingkaran janji jelas juga merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. Dan tidak hanya itu, dia juga sedang ‘merintis’ sebuah cerita tentang lost generation. Sadar atau tidak.

Berpikir bahwa lima tahun itu bisa dibagi dua, misalnya empat tahun ugal-ugalan dan satu tahun berlagak manis, jelas sudah ketinggalan. Akses pengetahuan yang terbantukan dengan jejak-jejak digital di masa ugal-ugalan itu membuat generasi milenial menjadi tidak mudah untuk ditipu. Apalagi ditipu berkali-kali.***

(01-10-2018)

 

Yang Milenial dan Generasi Demokratik-nya

gallery/digitalfootprint