www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-10-2018

Empathy memasuki khasanah bahasa Inggris sekitar tahun 1800-an, bertahun sesudah Adam Smith menulis buku-bukunya. Dari asal katanya, empati menunjuk pada kemampuan masuk untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Berbeda dengan simpati yang mendekat pada kebersamaan, empati lebih jauh dan lebih dalam lagi, seperti putting  yourself  in the shoes of another.[1]

Coba misalnya anda sedang kampanye untuk sebuah pemilihan, dan anda menjanjikan tidak akan bagi-bagi kekuasaan setelah anda terpilih nantinya. Dan ketika jejak pengetahuan kebanyakan orang ketika itu sudah sampai pada batas kegundahan melihat bagi-bagi kekuasaan sering menyingkirkan telak hal profesionalisme, apa yang anda kampanyekan itu pastilah akan disambut gegap gempita. Dan ketika terpilih, belumlah dingin aura kampanye, anda sudah mengingkarinya! Langsung dan telak. Cobalah anda sedetik saja membayangkan jika anda di posisi pemilih yang sudah begitu percaya pada janji-janji anda itu, apa yang anda rasakan? Atau, mampukah anda ber-empati juga?

Atau siapa yang tidak akan membayangkan Indonesia menjadi kuat karena berhasil membangun pertaniannya menjadi berdaulat dan berdikari? Bahkan akan memuliakan petani! Dan itu anda katakan berulang baik dalam kampanye maupun dalam berbagai kesempatan. Dan ketika kepercayaan terbangun dan anda terpilih, tetapi dalam kenyataannya justru anda mengingkarinya secara telak dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menggerogoti para petani, cobalah luangkan waktu barang 2 detik saja untuk mencoba menempatkan diri anda pada posisi pemilih anda yang percaya bahwa para petani akan dimuliakan. Atau, mampukan anda ber-empati?

Meski kalau ditanyakan soal tidak akan ada penambahan hutang kepada ahli-ahli ekonomi akan ada jawaban: tidak mungkin, anda tetap saja dengan lugas mengatakan tidak akan menambah hutang jika terpilih. Bagi khalayak yang bukan ahli ekonomi itu, siapa yang tidak akan bertepuk tangan? Di bayangkan oleh khalayak, Indonesia hebat di depan mata. Tetapi ketika kenyataan justru hutang bertambah secara ugal-ugalan, cobalah anda luangkan waktu 3 detik saja untuk mencoba menempatkan diri anda pada posisi pemilih yang begitu percaya anda tidak akan menambah hutang. Atau, mampukan anda ber-empati?

Atau ketika saudara-saudara kita tertimpa bencana yang dahsyat, tetap saja menyambut ‘tamu-tamu agung’ itu dengan segala gemerlapnya? Atau, mampukan anda ber-empati?

Siapa yang tidak marah ketika beberapa bank di republik tertipu dan dilarikan uangnya sampai 14 triliun rupiah itu? Atau, siapa yang tidak akan marah ketika melihat betapa ‘hancurnya’ wajah seorang nenek 70 tahun, dan dengan menyakinkan -face-to-face, mengatakan bahwa dirinya dianiaya oleh lebih dari satu laki-laki? Cobalah kita bayangkan jika kita sendiri adalah nenek yang di aniaya itu. Apalagi cerita penganiayaan sudah berkali masuk dalam ketidak-sadaran kita. Salahkah kita kemudian ber-empati pada si nenek, bahkan ketika pada hari berikut ternyata kejadian tidak seperti yang disampaikan? Tidak! Dan sama sekali tidak salah, terutama ketika empati seakan sudah semakin terkikis seperti sekarang ini. Bahkan karena tertipu itu kemudian menjadi mangsa para serigala-serigala-heyna-heyna-lintah-lintah rakus yang sedang dan selalu kelaparan itu, tetap saja tidak ada yang salah dengan sebuah empati.

Bagi Adam Smith, empati –saat menulis buku-bukunya belum ada kata empati dalam khasanah bahasa Inggris, Adam Amith memakai kata simpati- adalah hal krusial tidak hanya bagi individu-individu meraih kesejahteraannya, tetapi lebih dari itu, the wealth of nations. ***

(06-10-2018)

 

[1] Lihat, https://www.dictionary.com/e/empathy-vs-sympathy/

Empati Yang Terkikis