www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-10-2018

Akio Morita pelopor Sony Coorporation, sekitar hampir 40 tahun lalu terkait dengan merebak dan meraksasanya kapitalisme pasar uang, pasar saham dan sejenisnya, menyimpulkan: “Ini permainan yang memabukkan, penuh dengan kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan tidak seorangpun yang menyadarinya.”[i] Peringatan Morita tersebut bisa menginspirasi kita bersama terkait dengan merebaknya era digital dalam banyak aspek kehidupan kita, dalam kesempatan ini khususnya terkait dengan ‘mini culture shock’ yang disinyalir sedang mengharu-birukan kehidupan bersama: post-truth.

Post-truth berkaitan dengan sebuah situasi di mana ‘people are more likely to accept an argument based on their emotions and beliefs, rather than one based on facts.’[ii]  Sebenarnya tidak hanya pada era jaman now saja dimana emosi atau kepercayaan-kepercayaan  lebih mendasari suatu sikap atau penerimaan suatu argumen dibandingkan yang didasari oleh fakta-fakta. Jika secara bertubi-tubi dan terus menerus, bahkan turun-menurun dikatakan bahwa di pohon besar nan lebat itu ada hantu penunggunya, kadang orang tetap saja memilih jalan melingkar menghindari pohon itu di malam Jum’at Kliwon, misalnya. Meski sudah diberitahu oleh cerdik-pandai bahwa secara saintifik tidak ada hantu di pohon itu. Tak heran pula saat pidato di Universitas Yale, John F. Kennedy pada Juni 1962 pernah mengatakan: “The great enemy of truth is very often not the lie –deliberate, contrived and dishonest- but the myth –persistent, perssuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.” Beda dengan jaman old, jaman now the myth atau yang sejenisnya dalam ranah post-truth dikelola layaknya seperti pasar uang, pasar saham terutama dalam ‘kegilaannya’, tak jauh dari kegundahan Akio Morita di atas.

Sepuluh tahun sebelum Kennedy mengatakan hal di atas, Arnold J. Toynbee berargumen soal psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan.  “Daya tembus sebuah pancaran budaya biasanya berbanding terbalik dengan nilai budaya sinarnya,” [iii] demikian Toynbee menegaskan di tahun 1953. Daya tembus rendah, artinya sulit menembus akan dialami oleh sinar budaya yang tinggi nilainya, tetapi sinar budaya yang lebih rendah nilainya, justru ia akan mempunyai daya tembus yang besar atau lebih mudah diserap. Mengutip pendapat Kennedy di atas, siapa yang akan dengan penuh gairah menjalani ‘discomfort of thought’? Berapa banyak?

Manuel Castells dalam triloginya di penghujung abad 20 mengajukan konsep masyarakat jaringan, artinya masyarakat akan lebih ‘mengorganisir’ dirinya di sekitar jaringan-jaringan, the net. Jaringan-jaringan yang difasilitasi oleh kemajuan digital yang begitu pesat. Apa yang disebut sebagai ‘more likely to accept an argument based on their emotions and beliefs’ itupun ikut ‘membonceng’ di dalamnya. Maka tak heran pula bombardir emotions and beliefs ini akan mendorong langsung merebaklah apa yang disebut sebagai partisan digital itu. Maka post-truth tidak hanya memarginalkan fakta-fakta dalam berargumen tetapi juga melahirkan partisan digital. Gabungan dari ke-tidak- mauan sebagian (besar?) menjalani ‘discomfort of thought’, kecenderungan memarginalkan fakta sebagi basis argumen seperti dalam post-truth serta potensi membengkaknya partisan digital inilah yang kemudian ada sebagian upaya untuk membangun sebuah mitos sebagai salah satu pengeruk suara dalam pemilihan, seperti misalnya pemimpin yang dipuja-puji layaknya seorang dewa. Bahkan titisan dari Tuhan! Mau dibuatkan patung lagi! Pokoknya serba gila-gila-an.

Gila-gila-an karena seakan tidak tahu batas dalam memainkan emotions and beliefs tersebut. Para maniak ini sebenarnya, sadar atau tidak sedang mempertaruhkan republik. Mengapa?

Bagai sejarah pasar keuangan, saham dan sejenisnya di mana tercatat bermacam pecahnya gelembung, memainkan emotions and beliefs dalam post truth-pun pada titik tertentu akan menemui batasnya. Di satu sisi, masyarakat jaringan-pun juga sangat bisa menjadikan the net sebagai media pembelajaran di samping penyerapan terhadap para pembonceng yang nilainya rendah itu. Meski tidak secepat merebak dan meluasnya penerimaan terhadap pembonceng yang rendah nilainya, lapisan sosial yang ‘dipintarkan’ oleh the net ini tanpa bisa dicegah akan selalu membesar juga. Juga menilik drama Bil Clinton dan Monica Lewinsky dimana pada akhirnya tetaplah Bill Clinton mendapat dukungan luas dari khalayak. Mengapa? Karena khalayak sudah menjadi begitu muaknya terhadap gorengan media massa saat itu yang menjadi seakan tidak tahu batas, menjadi tidak proporsional lagi.[iv]

“Bukankah hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat lebih dahulu ke depan. Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee”. Merujuk pada kata-kata seorang pelopor jurnalisme modern Emile de Girardin,[v] Daoed Joesoef mengatakannya kembali dalam Ideal: Apa, Mengapa, Bagaimana, buah pemikiran untuk menyambut Pesta Emas Universitas Sanata Darma tahun 2007 dan sekaligus perayaan ulang tahun ke-80 Pater J. Drost SJ.[vi]   Sebagaimana peringatan Akio Morita di atas dapat kita pakai untuk melihat upaya menyejahterakan khalayak banyak, yaitu perhatian lebih pada ekonomi riil adalah lebih penting, yang sedang asyik sampai lupa diri dan cenderung maniak pada gelembung post-truth ini, sadar atau tidak sedang mempertaruhkan republik. Membiarkan potensi tenggelamnya republik dengan terus menerus memainkan post-truth dengan tanpa batas. Mereka menjadi seakan tidak mampu lagi untuk lebih dulu melihat ke depan. Tegasnya: tidak mampu mengurus negara. Atau memang demikian maksud aslinya? Selain menyerahkan ‘urusan negara’ pada pihak tak jelas, juga: melakukan ‘proletarisasi diam-diam’ di era revolusi industri 4.0 ini? Dimana pengetahuan, informasi telah menjadi hal atau kapital utama? Sekali tepuk kena dua-tiga lalat?***

(12-10-2018)

 

[i] Alan Woods, Ted Grant, Reason in Revolt, IRE Press, 2006, cet-2, hlm. 520

[ii] https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/post-truth

[iii] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam Y.B. Mangunwijaya (ed,), Teknologi Dan Dampak Kebudayaannya, Vol. I, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2, hlm. 79-80

[iv] Lihat, Haryatmoko, Etika Komunikasi, Kanisius, 2007, hlm. 22

[v] Emile de Giradin (1806-1886) adalah tokoh pelopor jurnalisme modern berkebangsaan Prancis. Ia seorang jurnalis, editor, sekaligus juga pemilik beberapa media di Prancis yang memulai penerbitan koran secara massif, murah, dan kritis.

[vi] Daoed Joesoef, Pikiran dan Gagasan – 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara), hlm. 268.

Mengantisipasi 

Post Post-truth