www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-10-2018

Apakah kita sebagai pemilih dalam pemilihan umum atau pemilihan presiden mau dipermainkan? Tentu saja tidak. Tetapi mereka pada kenyataannya dibantu bermacam sumber daya yang tidak kecil, banyak cerdik-pandai pula, dan sayangnya juga tidak lepas dari potensi mempermainkan kita. Kita sebagai pemilih meski dikatakan demos-kratos, senyatanya tetap dalam posisi lemah. Maka pemakaian judul, meski diakui frasa ‘debt collector’ kadang membuat sebagian dari kita merasa jengah, ini dimaksud memang untuk sedikit menakuti-nakuti juga.

‘Debt collector’ dalam hal apa? Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa yang tidak setuju bahwa janji itu adalah hutang? Ya, janji adalah hutang, dan dalam hal itu kita sebagai pemilih sebenarnya adalah juga seorang ‘debt collector’. Kita tidak usah masuk dalam pembicaraan berprasangka baik atau buruk, lugas saja: dulu apa yang diperjanjikan dalam kampanye itu adalah utang!  Dan kita sekarang menagihnya. Atau, hati-hati, apa yang akan anda janjikan saat kampanye adalah utang, dan nanti kami akan menagihnya juga!

Anies Baswedan (dan Sandiaga Uno sebelum mundur) dari berbagai berita yang beredar di dunia digital, nampak jelas keseriusannya dalam mewujudkan janji-janji kampanyenya. Ini patut diapresiasi oleh semua pihak karena bagaimanapun ini adalah ‘pembelajaran lapangan’ demokrasi yang sangat penting. Demokrasi adalah masalah kepercayaan, salah satunya terhadap janji yang terucap. Pemilih tidak perlu menggulung lengan baju dan maju sebagai ‘debt collector’ dengan segala kesewotannya. Energi tak perlu dibuang untuk hal-hal yang semestinya sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Masalahnya, dalam dunia nyata juga, masih ada (atau banyak?) yang berpikir, pokoknya jadi dulu, soal menepati janji itu urusan belakangan. Maka ditebarlah bermacam janji-janji manis kepada pemilih, tidak akan bagi-bagi kekuasaanlah, akan membuat Pertamina me-raksasa dunia, tidak akan menambah hutang, dan banyaaaaak lagi janji. Kangen di demolah. Akan memuliakan petani, dll. Intinya, ‘penipu berdarah dingin’. Dan coba bayangkan, dalam urusan utang-piutang uang, apa yang akan diperbuat oleh ‘debt collector’ ketika ia berhadapan dengan seorang ‘penipu berdarah dingin’ itu? Tidak usah merujuk pada cerita film, kita dapat bayangkan bersama. Bagi pemilih, munculnya #2019ganti presiden adalah salah satu ungkapan seorang ‘debt collector’ secara digital. Secara konstitusional tentunya nanti di bilik suara. Tidak ada yang salah dengan itu sebab jika anda tidak suka tagar semacam itu, sederhana saja: penuhi saja janji-janji kampanye anda!

Seorang ‘debt collector’ akan selalu fokus. Ia tidak mudah larut ketika seorang dengan naik chopper melambaikan tangannya.  Tetap yang dilihat hanya jidatnya, dimana seakan tertulis semua janji-janji kampanye. Mau jungkir balik, mau adu-domba, tebar uang, tebar pesona, dan banyaaaak lagi, tetap fokus, karena yang dilihat  adalah jidatnya. Jidat dimana janji-janji kampanye yang dulu terucap seakan tertulis jelas. Apalagi di era digital ini, begitu mudah menelusuri jejak digital.

Tidak mudah untuk selalu fokus[i] melihat jidat orang itu karena menurut Machiavelli: “Jurang antara bagaimana orang harus hidup dan bagaimana ia sesungguhnya hidup begitu lebarnya sehingga orang yang melupakan apa yang sebenarnya terjadi dan lebih memikirkan apa yang seharusnya dilakukan, sebenarnya ia mempelajari cara bagaimana ia dapat menghancurkan diri sendiri, dan bukannya bagaimana mempertahankan diri.”[ii]***

(14-10-2018)

 

[i] Lihat, “Kata Machiavelli”, https://www.pergerakankebangsaan.com/118-Kata-Machiavelli/

[ii] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 63

Pemilih Sebagai 

Debt Collector