www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-11-2018

Empat tahun bahkan enam tahun terakhir tentu di antara khalayak banyak yang tidak buta dan tidak tuli atas ‘kontribusi’ Jokowi terhadap perkembangan demokrasi era reformasi ini. Yang jelas karena ke-tidak-buta-an dan ke-tidak-tuli-an selama inilah akhirnya banyak khalayak yang kemudian bertekad untuk tidak mudah begitu saja dibohongi (lagi). Kalau toh mau diadakan voter education bagi pemilih pemula misalnya, salah satu tema besar kemungkinan adalah: jangan mau dibohongi (lagi)! [i] Belum pernah kegelisahan, kegundahan, kesewotan berkembang begitu merebaknya di khalayak terkait hal ter-bohong-i seperti sekarang ini. Tentu kita berterima kasih juga dengan kemajuan teknologi digital, terutama media sosial yang secara terus menerus mampu menampilkan kesenjangan besar antara hal terucap dan hal tindakan, hal janji dan keingkarannya, sehingga khalayak secara hampir bersamaan dan semakin banyak jumlahnya kemudian menyimpulkan: bohong!

Khalayak tentu mempunyai selain kemampuan memberikan ‘sangsi sosial’ –betapapun kemampuan itu selalu diusik, dan ‘apresiasi’. Tetapi khalayak juga bisa menimbang dan merasakan apa yang pernah disinggung oleh Peter L. Berger, human cost dan social cost. Tidak hanya biaya-biaya kemanusiaan dan sosial, khalayak juga perlahan merasakan apa yang bisa disebut sebagai ‘biaya-biaya kedaulatan’. Berita mengenai terperangkapnya beberapa negara dalam jerat hutang RRC dan kemudian berlanjut retaknya kedaulatan sebagai sebuah negara-bangsa, melalui kemajuan teknologi era digital itu semua bisa diakses oleh khalayak. Tidak hanya mengakses berita, tetapi juga saling mengkomunikasikan imajinasi yang berkembang terkait dengan bermacam informasi tersebut. Maka tak pelak lagi, dengan salah satu background seperti ini, dapat dipahami ke-tidak-buta-an dan ke-tidak-tuli-an khalayak akan semakin menambah kesewotan bersama: bohong!

Maka tak heran pula jika selain berkembangnya reaksi untuk tidak mudah dibohongi lagi, perlahan perasaan terusik atas tingginya ‘biaya-biaya kedaulatan’-pun juga semakin berkembang. Apa yang dilakukan oleh Mahathir dalam menegakkan maruah negara-bangsa Malaysia sedikit banyak memberikan inspirasi bagi sebagian khalayak. Paradoks globalisasi yang semakin banyak buktinya seakan telah memberikan nafas segar hal-ihwal ‘biaya-biaya kedaulatan’ ini. Terlalu murah dan seakan menghina akal sehat hal ‘biaya-biaya kedaulatan’ ini dicoba ‘ditawar’ dengan gelar sirkus kata-kata, seperti sontoloyo, budak, gendruwo, dan deretan kata yang mungkin akan muncul lagi.

Di era digital yang sudah sedemikian maju ini, jelas semakin besar khalayak mempunyai kemampuan melihat dan mendengar secara jernih. Tidak hanya hal baik dan buruk saja, tetapi juga menimbang biaya-biaya-nya, baik itu ‘biaya-biaya kemanusiaan’, ‘biaya-biaya sosial’, maupun ‘biaya-biaya kedaulatan’ yang harus dipikul republik. *** (10-11-2018)

 

[i] Lihat; Dilema Pemilih Rasional, https://www.pergerakankebangsaan.com/010-Dilema-Usaha-Pemilih-Rasional/

Ke-tidak-buta-an dan ke-tidak-tuli-an Atas Biaya

 

gallery/berger