www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-11-2018

Setelah melalui penelitian selama dua tahun lebih terkait tingginya angka bunuh diri di Tahiti, Robert Levy di tahun 1973 menulis tentang hipokognisi. Hipokognisi ini digambarkan Levy sebagai tidak adanya kata-kata untuk menjelaskan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah akibat kehilangan sesuatu yang begitu bermakna dalam masyarakat Tahiti waktu itu. Kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah itu hanya dijelaskan sebagai perasaan yang menyakitkan, yang asing-aneh. Ketidak-mampuan untuk menjelaskan dalam bingkai kata itulah yang dicurigai oleh Levy sebagai penyebab tingginya angka bunuh diri di Tahiti waktu itu.

Ketika banyak hal menghampiri kita, menampakkan diri kepada kita dan tidak ada kata ‘yang menyambut’ penampakan itu, tiba-tiba saja kita merasa gelisah. Mungkin itu yang dirasakan masyarakat Tahiti waktu itu, saat ketika Levy melaksanakan penelitiannya. Ketika kehilangan hal yang begitu bermakna, yang menampakkan diri sebagai sebuah kesedihan yang mendalam atau perasaan bersalah, keterarahan padanya tidak terjembatani oleh kata-kata dan akhirnya terasa menyakitkan dan aneh saja -serasa tidak kerasan lagi untuk tinggal di dunia ini. Maka lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa kata, bahasa bisa dikatakan tidaklah sekedar alat (komunikasi) belaka yang siap-guna bagi kita. Tetapi bahasa adalah rumah kita dan kita bermukim di dalamnya dan membuat kita merasa kerasan -at home, demikian paling tidak menurut Heidegger. Bahkan untuk ‘keluar’ dari ‘hipokognisi’ terhadap berbagai penampakan atau penyingkapan, Heidegger mencoba memperkaya diri dengan membaca puisi-puisi Hӧlderlin.[i] Jangan-jangan jika tidak ada Hӧlderlin Heidegger-pun akan mempertimbangkan untuk bunuh diri seperti kasus di Tahiti yang diteliti oleh Levy.

Publik dalam keadaban publik ini berarti hidup bersama. Keadaban yang dibangun dalam hidup bersama. Jika kita ikuti pandangan Heidegger di atas maka keadaban publik (public civility) sebagai salah satu dimensi penting hidup bersama, dia tidak akan lepas dari bahasa, bahasa sebagai rumah kita dan tempat bermukim. Bahasa yang dengannya kita bisa berinteraksi satu-sama-lain. Dan tidak hanya berinteraksi, tetapi dengan bahasa pula kita membuka diri terhadap orang lain. Demikian juga sebaliknya. Maka bukan hanya berhenti pada olah bahasa santun saja, tetapi lebih dari itu, ada kesungguhan dari dalam saat membuka diri untuk orang lain. Jika kita menghayati bahasa berhenti sebagai alat yang siap di tangan, jelas keretakan keadaban publik tiba-tiba saja akan terlempar tepat di depan mata kita karena kita bisa terjebak, bukannya merawat hidup bersama tetapi memanipulasinya. Bahasa sebagai tempat bermukim semestinya harus dirawat dengan kesungguhan.

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2005 mengangkat tema Keadaban Publik. Menurut SAGKI 2005 itu, keadaban publik bukanlah sekedar sikap santun dalam kehidupan publik, melainkan gugus kebiasaan, cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak (habitus) yang berisi (1) sikap senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain, (2) kemampuan melaksanakan pertimbangan tadi pada perilaku dalam hidup bermasyarakat bahwa tindakan itu mempunyai dampak (baik/buruk) pada kondisi hidup orang lain, dan (3) gerakan untuk membuat kehidupan bersama menjadi tata “komunitas” dan bukan sekedar “kerumunan” atau kumpulan orang belaka.[ii] Kumpul-asal-kumpul merupakan kecenderungan kuat dalam masyarakat dengan kesadaran transitif-naif, menurut Paulo Freire.[iii] Kemampuan dialoglah yang diangankan oleh Freire sehingga kesadaran transitif-naif itu bisa mengarah berkembang menjadi transitif-kritis. Dialog, dan bukannya asyik terus berpolemik, dan bisa-bisa tanpa sadar membuat lubang potensial untuk terjerumus dalam kesadaran fanatik. Jika dialog adalah kunci, maka sekali lagi dialog itu mempunyai rumahnya: bahasa.

Lepas apakah kumpul-asal-kumpul itu merupakan hal yang dikritisi oleh Paulo Freire, fakta keseharian kita adalah juga termasuk ‘aktifitas’ kumpul-asal-kumpul itu. Ngobrol ngalor-ngidul yang tak ada ujung-pangkalnya itu faktanya selalu akrab dengan keseharian kita. Jadi dimana masalahnya? Ngobrol ngalor-ngidul itu bisa jadi juga merupakan salah satu relaksasi terkait dengan kepenatan hidup. Sebuah ‘mekanisme pertahanan’ dalam mengarungi hidup dalam banyak dimensinya. Masalahnya adalah : batas. Bukan batas jam malam dimana seharusnya ngobrol ngalor-ngidul itu harus berhenti, tetapi adalah ketika yang di depan kita tiba-tiba saja membetot kesadaran kita dan ‘minta’ untuk diantisipasi tidak sekedar dengan obrolan ngalor-ngidul. Seperti ketika kehilangan sesuatu begitu bermakna yang tiba-tiba saja menghampiri dalam penelitian Levy di Tahiti di awal tulisan ini, membetot kesadaran untuk mengantisipasi dengan lebih sekedar obrolan saja. Maka membangun keadaban publik pertama-tama adalah juga ketika yang begitu bermakna dalam hidup bersama menghampiri dan membetot kesadaran, janganlah diantisipasi dengan ‘level obrolan’ saja. Jangan ‘glècènan’ sambil dilengkapi dengan kata ‘merokat-meroket' ketika bicara soal nasib ekonomi bersama. Atau bicara dengan kata menohok ketika rakyat kecil tanya soal yang langsung berurusan dengan nasibnya. Dan juga, jangan banyak menipu rakyat, ingkar janji. Jangan 'permainkan permainan' demikian pesan Driyarkara.

Tentu membangun keadaban publik bukan urusan ‘elit’ saja, tetapi apa yang disampaikan oleh Arnold J. Toynbee soal minoritas kreatif bukanlah asal nggedebus saja. Ingat juga, 'butterfly effect' [iv].*** (20-11-2018)

 

[i] Lihat, F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG, 2016, cet-3, hlm. 47-49

[ii] http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen.php?subaction=showfull&id=1140125559&archive=&start_from=&ucat=1&

[iii] Paulo Freire, Pendidikan Yang Membebaskan, Penerbit Melibas, 2001, hlm. 21

[iv] Lihat: www.pergerakankebangsaan.com artikel no. 145

Keadaban Publik