www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-11-2018

Mari kita buka twit dari dr. Mahathir, segera setelah kemenangan Pakatan Harapan: “Kita telah melakukan sesuatu yang selama ini mustahil untuk berlaku. Angin perubahan telah melanda. Semalam kita telah memilih untuk mengembalikan maruah negara. Terimakasih kami ucapkan. Kami akan menunaikan janji-janji yang telah dibuat dan bersedia berhadapan dengan rakyat.[1] Jika Mahathir memakai kata ‘mustahil’ tentulah sangat bermakna. Kredibilitas Mahathir dalam dunia politik di Malaysia membuat setiap kata sangat jauh dari nuansa ‘nggedebus’. “Mustahil’ mengindikasikan beratnya perjuangan merobohkan petahana. Dan jika akhirnya berhasil, satu faktor penting disebut Mahathir: maruah.[2]

Aksi Bela Islam 212, dan beberapa aksi sebelum dan sesudahnya, tidaklah ada di ruang kosong. Cobalah kita mundur sejenak, dan melihat ke-tidak-kosong-an ruang aksi tersebut. Meminjam Sujiwo Tedjo soal olok-olok, bagaimana anda merasakan jika keyakinan anda di-olok-olok? Tidak hanya soal keyakinan, apa yang anda rasakan ketika ada orang asing secara ‘bebas’ dan terekspos pula, diam-diam mengambil sampel tanah di Halim Perdanakusumah. Mungkin penyelenggara negara tidak terusik, tetapi adalah hak warga negara merasa terusik meski itu masih in-mind sifatnya. Atau frase ayah-kandung, ayah-angkat ketika seorang pengusaha besar berkunjung di luar negeri. Atau lihatlah jejak-jejak digital bagaimana kasarnya seorang pejabat berujar kepada rakyat. Atau yang setingkat menteri berkata-kata menohok ketika menjawab pertanyaan yang muncul dari rakyat. Atau begitu mudahnya janji kampanye diingkari secara telanjang, secara vulgar, bahkan hangatnya pemilihan belumlah dingin-mereda. Belum cerita terkait dengan serbuan TKA. Semua ini sebenarnya akan dihayati pada satu muara: maruah, martabat, harga diri. Tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Mahathir.

Dan mengapa reuni 212 tetap memperoleh sambutan hangat di khalayak? Cobalah lagi kita ingat jejak digital ketika seorang remaja meng-kacung-kacung-kan presiden. Bahkan yang tidak suka terhadap presiden yang sedang menjabat itu-pun tidak terima juga. Lihat juga soal persekusi ulama. Atau penghadangan pembicara di bandara atau tempat lain. Atau yang terakhir, menyamar sebagai pengemudi ojek-on-line untuk demo. Itu menghina akal sehat. Maka reuni 212-pun tidak lepas dari ini semua. Lihatlah betapa memandang rendahnya kemampuan rakyat kebanyakan dalam membesarkan UKM ketika 54 bidang usaha dilepas dari DIN. Meski kemudian dikoreksi, apa yang ditunjukkan oleh penyelenggara negara itu jelas mengusik harga diri bangsa.

Atau juga bagaimana ketika ke-tidak-adil-an dipertontonkan secara vulgar. Ketidak-adilan itu pada akhirnya juga akan dirasakan sebagai menginjak-injak harga diri. *** (29-11-2018)

 

[1] https://twitter.com/chedetofficial?lang=id

[2] Maruah= martabat, harga diri

212 dan Maruah Itu

 

gallery/aksi212a
gallery/aksi212b
gallery/aksi212c