www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-12-2018

Brexit, tetap bertahannya berbagai subsidi di banyak negara maju (para inisiator dan pendukung utama Konsensus Washington itu), menguatnya sentimen nasional dan banyak lagi, mengindikasikan buku Dani Rodrik sekitar tujuh tahun lalu, The Globalization Paradox bukanlah buku asal nggedebus[i] saja. Potensi munculnya gejala-gejala ini-pun sudah diperingatkan oleh Karl Polanyi, hampir 75 tahun lalu. Dalam The Great Transformation (1944) Polanyi mengintrodusir istilah ‘double movement’, katanya: “The one was the principle of economic liberalism, aiming at the establishment of a self-regulating market, relying on the support of trading classes, and using largely laissez-faire and free trade as its methods; the other was the principle of social protection aiming at the conservation of man and nature as well as productive organization, relying on the varying support of those most immediately affected by the deleterious action of the market –primarily, but not exclusively, the working and landed classes – and using protective legislation, restrictive associations, and other instruments of interventions as its method.”[ii] Jika kita telisik lebih jauh lagi, di balik ‘paradoks globalisasi’ atau apa yang disebut Polanyi sebagai ‘gerakan ganda’ itu bisa kita temukan satu hal nuansa kuat: self help.

Apapun rejim global yang sedang berkuasa, siapapun itu, satu hal yang ditekankan oleh founding fathers bahkan sebelum Proklamasi, berjuanglah dalam asas self help. Menolong diri sendiri, atau meminjam ungkapan Pak Ryamizard Ryacudu di beberapa kesempatan, siapa lagi yang akan menolong kita kalau tidak kita sendiri. Asas self help ini jelas tidak dimaksudkan sebagai hidup di sebuah pulau terisolir lepas dari yang lainnya, tetapi self help juga dalam konteks hidup bersama –antar negara bangsa juga: ia siap untuk mengelola ke-saling-ketergantungan. Tidak hanya siap, tapi pastinya: mampu, sehingga outcome-nya selalu akan diupayakan  jauh dari masuk ke lubang jebakan ketergantungan karena semakin mengaburnya ke-saling-an.

Jika kita coba hayati lebih jauh soal self help ini, ada background yang tidak dapat dipisahkan dari self help, yaitu hal survival, hal bertahan hidup. Bagi Reagenomic dan Thacherisme, hal bertahan hidup adalah semata urusan individu, dan bukan komunitas, apalagi negara, karena negara sebaiknya ‘negara minimal’. Benarkah? Atau itu adalah khotbah yang diulang-ulang dalam paradigma do as we say, not as we do? Ketika national interest mereka ada dalam potensi terancam, maka tak segan pula Konsensus Washington direvisi di sana-sini, paling tidak dalam praktek. Ha Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder (2003) menunjukkan secara gamblang betapa urik-nya mereka. Tetapi, urik-tidak-urik, curang-tidak-curang, apapun itu, dari hari-ke-hari, bulan-ke-bulan, tahun-ke-tahun, kita akan selalu lekat dengan survival, hal terkait bertahan hidup sebagai satu bangsa. Atau dalam kata-kata Richard Robinson: “Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat.” Hal itu dikatakan Robinson dalam kuliah umum di kampus Melbourne, 5 Juli 2016. “Dan negara yang kuat itu diukur dari kemampuannya mempengaruhi the setting of rules dan seterusnya,” lanjutnya.[iii]

Bertahan hidup adalah background paling ‘menggetarkan’ jika kita bicara soal self help. Background kedua yang juga akan memberi daya dorong kuat adalah potensi. Kita tidak akan pernah bicara self help jika kita tidak punya potensi apapun. Atau jika dibalik, karena kita punya potensi maka kita bisa bicara self help. Selain diri dengan berbagai kemampuan otak, ketrampilan dan daya juang –élan vital, kita dianugerahi juga berbagai kekayaan alam melimpah. Itulah potensi yang melekat dan sekaligus sebagai background ketika bicara soal self help. Berbagai ‘kartu’ yang diungkit-ungkit ketika mendekati pemilihan umum tentulah akan membantu kapasitas banyak orang sehingga kemampuan menolong diri semakin kuat, tetapi bukan itu yang pertama-tama diinginkan founding fathers jika bicara soal self help ini. Nampaknya founding fathers berbicara self help -terutama jika sudah di ‘seberang jembatan emas’, pertama-tama tentu dalam background bertahan hidup, dan yang kedua, memaksimalkan potensi. Bermacam potensi.

Misalnya soal ke-martabat-an yang adalah salah satu bagian krusial dari élan vital yang merupakan bagian dari potensi bangsa. Potensi yang akan menjadi background atau horison dari self help. Dan dengan horison itulah penghayatan akan self help akan dapat berujung pada sebuah daya gerak. Bahkan daya ledak. Sebab dalam horison berbagai kemungkinan atau posibilitas akan terpapar. Selain itu, horison adalah juga room for progress.[iv] *** (12-12-2018)

 

[i] = omong kosong

[ii] Karl Polanyi, The Great Transformation, Beacon Press, 2001, hlm. 138-139

[iii] http://internasional.kompas.com/read/2016/07/08/13300091/profesor.australia.indonesia.tak.punya.kapasitas.untuk.jadi.kekuatan.baru.di.dunia

[iv] Cornelis A. van Peursen, Phenomenology and Reality, Duquesne University Press, 1972, hlm. 219

Self Help