www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-12-2018

Jika semakin banyak masyarakat menjadi begitu muaknya dengan pencitraan dalam politik, wajar. Tentu politik tidak akan lepas dari pencitraan, dari upaya membangun citra, tetapi ketika khalayak merasa itu sudah overload, dan ditambah lagi kental dengan rasa ndèk-ndèk-an[1], maka kemuakanpun akan merayap naik. Tak terhindarkan. Kemuakan itu mungkin muncul dari suasana kebatinan yang menjadi gelisah ketika pencitraan menjadi overload, seakan ada sesuatu yang disembunyikan mati-matian, dan juga serasa mengkhianati perasaan terdalam dari masyarakat terkait dengan demokrasi: mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi. Itulah sosiodemokrasi menurut si Bung. Sosiodemokrasi yang timbul dari sosionasionalisme yang merupakan nasionalisme politik DAN ekonomi – suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki.[2] Dan, bukanlah nasionalisme ngalamun, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri di dalam masyarakat.[3]

Berideologi yang tidak ikut dengan tendenz-nya pergaulan hidup[4] ia akan bisa jatuh pada jurusan kenang-kenangan belaka. Seakan jika sudah ‘sosia-sosio’ di atas podium atau semua kader hapal akan ‘sosia-sosio’ itu maka keberesan politik dan ekonomi akan segera datang dengan gemilangnya. Si Bung sudah mengingatkan, kenang-kenangan yang demikian jelas tak berdiri di atas basis yang nyata.[5] Tulisan si Bung yang dirujuk di sini ditulis tahun 1932, tahun dimana populasi dunia ‘masih’ sekitar 2 miliar orang, sedang sekarang populasi dunia sudah lebih dari 7 miliar orang. Tahun di mana Perang Dunia I sudah berakhir hampir 15 tahun, dan Perang Dunia II masih 7 tahun lagi. Kita sekarang, Perang Dingin sudah berakhir hampir 40 tahun lalu, dan utopia sama-rata-sama-rasa-pun sudah meredup. Dan di depan mata kita sekarang ini sedang berlangsung Perang Dagang antara raksasa dunia. Terjadi juga peningkatan peran penting area Pasifik, baik geopolitik maupun geoekonomi. Persoalan global mau-tidak-mau juga akan mempengaruhi tendenz-nya pergaulan hidup, selain tentu dinamika dalam negeri.

Dari sebelum Proklamasi sampai dengan sekarang, dan juga di masa depan, kita sebagai manusia akan selalu lekat dengan hal bertahan hidup, dengan hal mengembangkan hidup. Demikian juga manusia-manusia lain di seluruh dunia. Proklamasi semestinya memberikan kepada kita dorongan besar mewujudkan potensi bangsa dalam tidak hanya sekedar untuk bertahan hidup, tetapi lebih penting lagi: mengembangkan hidup. Karena dengan Proklamasi kita menjadi dimungkinkan untuk mengurus diri, menentukan pilihan terbaik di antara berbagai pilihan yang ada di depan kita. Tetapi benarkah kita sudah menjadi ‘mandiri dalam menentukan pilihan’? Enam tahun setelah Reformasi Kuntowijoyo masih menulis tentang Mentalitas Bangsa Klien.[6]  Dan sampai sekarang-pun tulisan itu masih terasa relevan. *** (18-12-2018)

 

[1] Norak, selera rendah

[2] Soekarno, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, dalam Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 173

[3] Ibid

[4] Soekarno, hlm. 186

[5] Ibid

[6] Kuntowijoyo, Mentalitas Bangsa Klien, Kompas, 23 des 2004

Kenang-kenangan?

Sosionasionalisme dan Sosiodemokrasi