www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-12-2018

“Mereka kaum teknolog, begitu pandai membawa Anda ke Paris dalam hanya tiga jam, tetapi tidak dapat memberi nasehat sedikit pun, sebaiknya berbuat apa kalau sudah sampai sana”

Robert Morrison, 1979 [i]

Dari satu sudut dikenal pembedaan antara sciences of fact dan sciences of essence (eidetic sciences). Pemimpin yang menguasai salah satu dari scieces of fact adalah lebih baik, jika tidak, tetaplah paling tidak mampu mengakrabinya. Tetapi terkait dengan eidetic sciences, sebaiknya pemimpin tidak hanya akrab, tetapi menguasainya dalam praktek. Mengapa? Atau pertanyaan Matheson Russel: What good is eidetic knowledge? Dijawab sendiri oleh Russel: “It seems that all the genuinely useful knowledge is empirical. To answer this question properly, it is important to see that while a priori or  ‘eidetic’ knowledge is knowledge about possibility, this does not remove it completely from the sphere of actuality. Though eidetic knowledge does not give us information about actuality per se, it does give us knowledge about actuality in so far as actuality is the realization of possibilities. This is so because the rules that govern the field of possibility also govern the field of actuality.” [ii]

Sebenarnya, disadari atau tidak, kita telah akrab baik dengan sciences of fact dan sciences of essence –bahkan dalam keseharian kita. Yang membedakan satu dengan lain adalah kedalaman dan keluasannya.

Pada saat tertentu kita bisa saja sadar sedang berhadapan dengan hal yang mirip satu dengan lain. Atau mirip dengan yang pernah kita lihat atau alami jauh sebelumnya. Yang biasanya kita taken-for-granted terhadap apa-apa di depan kita, tiba-tiba saja penampakan kemiripan itu mendesak kesadaran kita. Pada tingkat selanjutnya, tidak hanya kemiripan, tetapi kita melihat atau mengalami bahwa hal tersebut adalah sama. Misal kita lihat kuda warna putih, kemudian kuda coklat, dan seterusnya. Banyak kemiripan diantaranya, dan bahkan kita bisa menghayati bahwa mereka itu adalah sama-sama kudanya. Ada satu belang-belang hitam-putih, dan kita paham pula yang itu adalah zebra, dan bukan kuda. Sciences of essence ingin menjawab soal kemiripan atau kesamaan, tetapi lebih pada apa yang menyebabkan kuda itu adalah kuda, zebra adalah zebra, atau pohon adalah pohon, misalnya. Atau contoh lain lagi, apa yang membuat politik itu politik? Kata Carl Schmitt, pembedaan kawan dan lawan, misalnya. Dan pembedaan kawan-lawan itu bisa berlaku di mana saja ketika ranah politik digelar. Di Amerika, Jepang, Eropa, dan juga di sini -menurut Schmitt, hanya pembedaan lawan-kawanlah yang membuat atau memungkinkan politik itu ada. Tentu kemungkinan atau pendapat lain selain pembedaan kawan-lawan bisa juga muncul dari orang lain di luar Carl Schmitt, dan bagaimana-pun kemungkinan itu juga akan ‘diuji’ lagi dalam aktualitas, atau sebelumnya pada intersubyektifitas.

Ketika saya melihat seekor kuda misalnya, pada saat itu sebenarnya kita juga ‘melihat’ esensi dari seekor kuda, ‘melihat’ juga mengapa kuda itu adalah kuda, yang tidak bisa saya pisahkan dengan penampakan kuda saat itu. Bagi Husserl, setiap benda (apapun itu) selalu mempunyai ‘konsep’ pada dirinya. Ketika kesadaran kita terarah pada satu fenomena, ketika kita menghayati fenomena itu dan paham akan fenomena yang menampakkan diri pada kita itu, sebenarnya hal yang esensi atau ‘konsep’ dari fenomena tersebut telah terlibat. Dalam eidetic sciences, katakanlah kita sedang melihat seekor kuda. Kuda yang sedang kita lihat itu kemudian kita anggap sebagai ‘contoh’, sebuah ‘example’, dan kemudian kita bayangkan bermacam variasi, yang coklat, putih, pendek, yang malas atau sigap, gagah atau kurus. Tetapi imajinasi kita bisa terhenti ketika kita membayangkan yang mirip tapi belang-belang hitam putih, bukan kuda lagi tapi: zebra. Proses ini sebenarnya tidak lepas dari horison, dan warna-warna yang melekat pada kuda dan ketika terkontraskan dengan warna pola zebra misalnya, warna-warna tersebut adalah horison internal (inner horizons) yang melekat pada kuda. Sedangkan misalnya padang rumput, atau kandang kuda, atau pelana misalnya, ini adalah horison luar (outer horizons) dari kuda yang akan membantu kita dalam memahami kuda sebagai kuda.

Atau bayangkan sebongkah lilin yang bisa kita ikat, kita pecah-pecah, kita puntir, dan seterusnya sehingga berubah-ubah bentuk. Tetapi apapun bentuk yang muncul, tetaplah tidak menghilangkan sifat ke-lilin-an dari bongkahan itu. Tetapi jika bongkahan lilin itu kita panaskan, pada suhu tertentu lilin itu akan meleleh, bahkan akan bisa menguap, dan ke-lilin-annya pun ikut ‘menguap’. Maka bisa dikatakan bahwa suhu atau temperatur (pada suhu tertentu) merupakan hal esensial terkait dengan ‘konsep’ lilin, tetapi tidak dengan bentuk. *** (19-12-2018)

 

[i] Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. I, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2, hlm. x

[ii] Matheson Russel, Husserl: A Guide for the Perplexed, Continuum, 2006, hlm. 25

Pemimpin dan Keakrabannya dengan Sains