www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-12-2018

Jepang adalah ‘negeri gempa’ karena deretan gunung apinya. Tetapi mengapa Jepang bisa maju? Ada dua hal yang lekat dengan manusia, ia ‘mengejar kesenangan’ atau ia ‘menghindari ke-tidak-enak-an’. ‘Mengejar kesenangan’ dalam arti tertentu bisa ‘dipelesetkan’ pula terkait dengan kebanggaan, glory. Juga bisa berarti pula kemakmuran bersama. Hal yang dimungkinkan jika kita bicara soal ‘manajemen hasrat’. ‘Menghindari ke-tidak-enak-an’ bisa berarti juga ‘menghindari kepunahan’, misal ketika dihadapkan pada alam yang ‘kemarahannya’ sungguh sulit untuk diprediksi. Atau ancaman kekuatan-kekuatan lain di luar diri yang sungguh hampir bisa dikatakan, tidak tergantung pada mau-maunya kita lagi. Dalam bahasa sebagian motivator kedua hal yang lekat pada manusia di atas mungkin akan dibahasakan sebagai ‘pull’ dan ‘push’.

Persoalan pemanasan global (global warming) sebenarnya tidak hanya persoalan melelehnya lapisan es di kutub, tetapi juga melibatkan salah satu cara pandang modernisasi (Barat). Banyak kritik bertebaran soal modernisasi ini, bahkan sejak berabad silam. Salah satunya adalah terkait dengan sisi ‘mengejar kesenangan (individu)’ yang seakan tidak terkendali itu.  Atau meminjam kata-kata Sheik Yamani, ‘jaman batu berakhir bukan karena kita kehabisan batu’. Sheik Yamani adalah pimpinan OPEC selama 25 tahun dengan berbagai gelar dari New York University School of Law, Harvard Law School dan Doktor dari University of Exeter. Pemakaian energi fosil yang ditengarai sebagai salah satu penyebab utama pemanasan global itu, bagi kelompok di sisi Sheik Yamani akan mengatakan bahwa ‘jaman energi fosil akan berakhir bukan karena habisnya energi fosil’, jadi ..... mengapa harus dibatasi? Alam, termasuk manusia di dalamnya nantinya akan menemukan jalan pemecahannya. Maka ketika Donald Trump naik ke tampuk kekuasaan, para pengingat global warming itu pun banyak yang ketar-ketir.

 

 

 

 

 

Bagi yang hidup dan tenggelam di kolam ‘mengejar kesenangan (individu)’ bukannya mereka tidak punya ‘imajinasi tentang kepunahan’, mereka punya itu tetapi kepunahannya adalah ‘kepunahan akan kesenangan’ mereka. Tepat yang dikatakan Thomas Hobbes tentang power, yaitu dengan terus mengakumulasi power maka di situlah jaminan untuk tetap dapat menikmati berbagai kenikmatan yang sudah diperoleh. Power dipakai untuk menghadapi kepunahan, kepunahan akan kenikmatan yang sudah diperoleh bagi dirinya dan kelompok dekatnya.

Imajinasi tentang kepunahan bagi Jepang sungguh bermakna tidak hanya terbatas soal kepunahan akan kenikmatan belaka, terlebih bagi segolongan kecil saja, tetapi kepunahan yang sangat berpotensi menjadi aktual, senyatanya. Imajinasi tentang kepunahan itu telah menjadi horison, di mana dalam horison itu berbagai kemungkinan akan muncul. Dalam horison akan kepunahan tersebut Jepang menemukan room for progress bagi dirinya.

Ketika Prabowo sebagai salah satu kandidat melemparkan soal ‘imajinasi tentang kepunahan’ republik, tiba-tiba saja banyak yang nyinyir dari kubu sebelah. Nyinyir-nya mereka -sadar atau tidak, bukannya mereka tidak punya imajinasi tentang kepunahan, mereka punya tetapi berbeda imajinasi. Mungkin imajinasi tentang kepunahan mereka lebih terkait dengan kepunahan akan kesenangan diri dan kelompok dekatnya. Persis seperti dikatakan oleh Thomas Hobbes di atas.

‘Mengejar kesenangan (individu)’ bukanlah hal yang harus dikubur dalam-dalam, tetapi horison di mana ini harus diletakkan harus tetap ada dalam horison ‘imajinasi akan kepunahan’ republik. *** (28-12-2018)

Imajinasi Tentang Kepunahan

 

gallery/yamani