www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-01-2019

Bagi kebanyakan orang, pemilihan umum adalah masalah siklus lima tahunan. Sebelum coblosan ada kampanye, dari tanggal sekian sampai sekian. Ada pemasangan poster, baliho, spanduk dan lain-lain, yang harus bersih ketika masuk masa tenang. Kemudian tanggal sekian coblosan di TPS. Ada perhitungan suara, dan pelantikan. ‘Ritual’ yang akan diulang lagi lima tahun mendatang. Patokan waktu terkait dengan rentang waktu kalender itu adalah penghayatan waktu obyektif, bisa diukur secara obyektif. Terkait juga sekuensi waktu, setelah kampanye sekian bulan, masa tenang sekian hari, coblosan, dan penghitungan serta penetapan hasil coblosan sekian hari. Ada jadwal-jadwal pasti. Patokan yang tentu akan membantu kebanyakan orang, baik bagi penyelenggara atau pemilih maupun kontestan.

Coba kita bayangkan saat kampanye ada arak-arak sepeda motor dan si A terjatuh, masuk rumah sakit dan harus dioperasi. Bagi keluarga yang sedang menunggu operasi, waktu satu-dua jam mungkin akan terasa begitu lama. Bandingkan jika Pak Totok si calon yang didukung A ternyata menang dan mengadakan syukuran, mungkin saja satu-dua jam syukuran itu akan dirasa terlalu singkat. Inilah mungkin yang disebut sebagai waktu subyektif atau waktu personal.

 

 

 

 

 

 

Saat kita mendengarkan sebuah melodi, apakah kita sekedar mendengar deretan nada-nada? Dari nada 1, berhenti dan dilanjutkan nada 2, berhenti, dilanjutkan nada 3, dan seterusnya? Apakah melodi yang kita dengar itu berasal dari keberurutan semata dari yang terpisah itu? Paradigma waktu Newtonian ini belum bisa menjelaskan secara memuaskan mengapa kita mampu menghayati ‘urutan-nada-nada’ itu sebagai melodi. Jika nada1, nada 2, nada 3 dan seterusnya itu adalah obyek-obyek temporal yang berurutan, bagaimana kita bisa menghayatinya sebagai satu kesatuan melodi? Menurut Fenomenologi, all experience entails a temporal horizon.[i] Ketika kita saat ini mendengar nada 2, nada 1 tidaklah ‘hilang’ sepenuhnya, ia mengalami retensi, seakan tertahan. Dan ‘ke-tertahan-an’ nada 1 saat kita mendengar nada 2 itulah menjadikan nada 1 sebagai horison nada 2. Nada 3 yang belum kita dengar juga merupakan horison (masa depan) bagi nada 2, yang mana dengan itu memungkinkan adanya sebuah antisipasi. Dengan adanya retensi (pada nada 1), primal impression (saat kita dengar nada 2 –now), protensi (nada 3) itulah melodi sebagai the whole bisa kita hayati sebagai melodi.

Penulis adalah dokter, dan ketika menghadapi pasien sebagian besar pastilah dimulai dengan anamnese, menggali masalah dengan tanya-jawab. Apa yang diperoleh selama anamnese tersebut akan memberikan horison ketika ‘nada’ pemeriksaan fisik dilakukan. Pada saat yang sama ketika melakukan pemeriksaan fisik, sudah terbayang pula sebuah antisipasi berupa differential diagnosis dan mungkin pula pemeriksaan-pemeriksaan penunjang. Mungkin itulah jika kita membayangkan ‘melodi ruang praktek’ yang sedang ‘dinyanyikan’ oleh seorang dokter.

***

Apa yang dicoba Robert A. Packenham (1998) dalam mengkritisi salah satu pendapat dari Cardoso terkait dengan negara sebagai bagian utama dari sebuah pakta dominasi kiranya perlu kita perhatikan di sini. Menurut Packenham pendapat Cardoso itu meminggirkan dengan telak negara sebagai sebuah wujud dari kontrak sosial.[ii] Dua hal kunci di atas, pakta dominasi dan kontrak sosial, itulah sebenarnya masalah krusial jika kita bicara demokrasi di republik, terlebih di era reformasi ini.

Dalam upaya menjelaskan sekitar pakta dominasi itu, Cardoso membedakan antara state dan regime. Rejim menurut Cardoso adalah kaidah-kaidah yang menghubungkan antara lembaga-lembaga politik utama (legislatif ke eksekutif, eksekutif ke yudikatif, dan sistem kepartaian dengan baik legislatif, eksekutif, yudikatif) yang tidak jauh berbeda dengan hubungan politis antara penguasa dan warga negara seperti demokratik, oligarkik, totalitarian, atau apapun itu. Kaidah-kaidah yang menghubungkan antara lembaga-lembaga politik utama disebut Cardoso sebagai rejim primer, sedangkan bagaimana sifat hubungan politik antara penguasa dan warga negara sebagai (demokratik, oligarkik, totaliterian, atau apapun itu) rejim sekunder.[iii] Korupsi yang tidak kunjung meredup, dan bahkan seakan menjadi-jadi beberapa tahun terakhir ini, juga indikasi berbagai mafia yang terus bercokol memberikan gambaran yang semakin nyata pakta dominasi apa yang sebenarnya (sudah) sedang (dan akan?) bercokol di republik. Termasuk juga kesenjangan yang terus terasa ugal-ugalan ini. Juga kekayaan alam yang melimpah tidak serta merta berpengaruh sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat kebanyakan. Apa yang terjadi adalah praktek oligarki-pemburu rente itulah yang menyebabkan sebagian kecil terus-menerus mendominasi ‘keberesan rezeki’ (meminjam istilah si Bung)[iv] dan meminggirkan rakyat yang banyak. Demokrasi dalam konteks bahasan pakta dominasi Cardoso yang disebut sebagai rejim sekunder itu dalam praktek hanyalah ‘formalitas’ belaka. Atau bisa dikatakan, ‘melodi demokrasi’ itu lebih didendangkan oleh para oligark-pemburu rente dari pada oleh rakyat. Yang bagi mereka mungkin hanya bagian refrain belaka. Lalu, bagaimana supaya rakyat benar-benar mampu mengambil alih ‘dendang demokrasi’ itu?

Berangkat dari negara sebagai ‘kontrak sosial’ seperti disebut Packenham di atas maka kita bisa mulai meraba apa yang harus kita kerjakan. Menurut Harold J. Laski dalam The State In Theory And Practice, warga negara hanya bisa mengakses negara melalui pemerintahannya, dan pemerintah di republik ini dibentuk melalui pemilihan secara demokratis. Maka ‘kontrak sosial’ dalam hal ini adalah juga berarti ‘kontrak politik’ antara calon terpilih dengan pemilihnya, rakyat sebagai warga negara. Lugasnya, melalui janji-janji kampanye-lah rakyat sebenarnya ingin mengakses negara. Atau bisa kita lihat lebih jauh dalam ‘kondisi negatif’: jika janji-janji kampanye hampir sebagian besarnya diingkari, maka sebenarnya si calon terpilih itu ada dalam ‘dendang melodi’ kaum dominan, di republik: para oligark-pemburu rente itu. Dan bukan pada rakyat, apalagi berpihak pada wong cilik. Jika calon terpilih itu lima tahun lagi masih bicara demi rakyat misalnya, jelas dia sedang nggedebus [v] berat, dan tidak yang lain.*** (03-01-2019)

 

[i] Michael R. Kelly, https://www.iep.utm.edu/phe-time/

[ii] Robert A. Packenham, The Dependency Movement: Scholarship and Politics in Development Studies, Harvad University Press, 1998, 2nd ed.,  hlm. 94-95

[iii] Ibid, hlm. 95

[iv] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/181-Kenang-kenangan-Sosionasionalisme-Sosiodemokrasi/

[v] = omong kosong

Waktu dan Penghayatannya

 

gallery/dali watch