www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-01-2019

“Mereka kaum teknolog, begitu pandai membawa Anda ke Paris dalam hanya tiga jam, tetapi tidak dapat memberi nasehat sedikit pun, sebaiknya berbuat apa kalau sudah sampai sana”

Robert Morrison, 1979 [i]

“...... dan kini setelah dirangkum dalam sebuah buku kecil, hamba persembahkan ke hadapan Paduka,” [ii] demikian kutipan surat dari Niccolo Machiavelli kepada Yang Mulia Lorenzo de’ Medici [iii] di awal buku Sang Penguasa. Jika kita memakai analogi ‘teknologi’, buku kecil Machiavelli yang dipersembahkan kepada Sang Penguasa itu bisa dikatakan sebagai ‘teknologi tepat guna’. Atau istilahnya, tidak ndakik-ndakik, tidak terlalu tinggi mengawang-awang, tetapi langsung efektif tepat sasaran. Jika Machiavelli sedang di samping Sang Penguasa di lapangan tembak misalnya, tentu saran yang dibisikkan supaya jangan menembak tinggi-tinggi, rendahan dikit supaya tepat sasaran.  Maksudnya adalah, lihat fakta obyektifnya.

Dan jika buku kecil itu dikirim via pos misalnya, Machiavelli mengirim dengan jelas kepada siapa dikirimnya, yaitu kepada Yth: Lorenzo de’ Medici, Sang Penguasa, si pemegang kekuasaan. Mengapa ini menjadi penting dalam bahasan ini?

 

 

 

 

 

 

 

Kekuasaan sebenarnya kita hayati mirip dengan saat kita menghayati warna-warna. Warna merah, atau biru misalnya, meski kita bisa membuka buku ensiklopedia dan di sana ditayangkan bahwa panjang gelombang warna merah sekian, warna biru sekian, tetapi kita hanya bisa menghayatinya sebagai warna merah hanya jika dia ‘melekat’ pada material lain, misal di bangku, meja, kain dan lain-lain. Demikian juga kekuasaan, meski kita bisa melihat dari bermacam undang-undang atau peraturan, definisi, batasannya, kewenangannya dan lain sebagainya, kita sebenarnya hanya bisa menghayati kekuasaan ketika kekuasaan itu melekat pada seseorang. ‘Melekat’ pada diri si-pemegang kekuasaan –si mandataris, misalnya, melekat pada diri Sang Penguasa, maka dengan itu kita akan bisa menghayati kekuasaan itu.

Maka sama sekali tidaklah salah jika warga negara di alam demokrasi dimana si-pemegang kekuasaan akan dipilih, warga menuntut adanya sebuah tahapan yang jelas supaya ia tidak salah pilih orang. Karena meski dengan segala batasan yang ada, pada ujungnya ia akan berhadapan langsung dengan kekuasaan melalui orang terpilih itu. Jika kita sekarang gundah dengan ‘kebijakan KPU’ yang memarginalkan pemaparkan visi-misi oleh calon yang ikut kontestasi pilpres, serta kebijakan memberikan bocoran ‘soal’ dalam debat pilpres, kegundahan itu sungguh-sungguh mendasar sifatnya. Tentu mendasar dari sudut pandang warga negara. Tetapi bukankah itu salah satu juga esensi dari demos-kratos?

Kita tidak tahu apakah di alam sana Machiavelli sedang senyam-senyum atau tidak ketika melihat kegundahan yang berkembang di antara warga negara di belahan dunia lain itu. Atau mungkin akan membisikkan ini pada Sang Penguasa: “EGP?” Sama tidak tahunya juga, apakah Machiavelli di alam sana sedang senyam-senyum atau tidak ketika dulu beberapa tahun silam ada orang yang membawa ringkasan bukunya itu untuk dipersembahkan kepada Yang Mulia Paduka Oligark-Pemburu Rente itu. Dengan tembusan kepada Yang Mulia Paduka LdPP[iv]. *** (09-01-2019)

 

[i] Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. I, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2, hlm. x

[ii] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 1

[iii] Lorenzo (di Piero) de’ Medici (1492-1519) adalah penguasa Florence antara 1515-1519.

[iv] Lorenzo de’ Plonga-Plongo

Machiavelli dan 'Teknologi Kekuasaan'nya

 

gallery/lorenzo_di_medici

Lorenzo de' Medici