www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-02-2019

Elit dari asal katanya mengadung arti yang terpilih. Dari segi jumlah, yang terpilih itu pastilah jauh lebih sedikit dari yang memilih. Mengapa si A atau B menjadi yang terpilih? Jauh dilubuk hati si-pemilih, elit sebagai yang terpilih itu menggambarkan hal baik yang bagi kebanyakan orang dia kurang mampu untuk melaksanakannya dalam rentang waktu yang panjang. Bermacamlah hal baik itu, tetapi bagi Adam Smith terutama adalah soal self-command, mampu mengendalikan diri. Tahu batas. Mengendalikan diri dalam hal apa? Dalam hal untuk tidak mudah begitu saja ikut-ikutan dalam perebutan terkait dengan kepentingan diri seperti kebanyakan orang, misal dalam hal urusan pangan, sandang, papan, kesehatan dan lain-lainnya. Bukan karena dia tidak butuh soal pangan, sandang, papan, kesehatan dan lain-lain itu, tetapi karena ia mampu ‘menunda’ pengejaran hal-hal tersebut demi suatu kepentingan yang lebih besar. Itulah yang dimaksud oleh Smith sebagai ‘moralitas sekte agung’ atau famous sect yang dapat dibedakan dengan ‘moralitas yang sekedar kepantasan’ saja di kebanyakan orang.

‘Moralitas yang sekedar kepantasan’ atau mere propriety itu bukanlah berarti adalah moralitas rendahan. Bukan itu yang dimaksud, tetapi memang begitulah kebanyakan manusia menjalani hidup, dan tidak ada yang salah dengan itu. Dan bukan berarti juga manusia yang berkubang dalam moralitas yang mere propriety itu lantas tidak pernah sekali-pun meloncat dalam ‘moralitas sekte agung’ itu. Pada waktu-waktu tertentu dia juga punya kemampuan menunda segala hal yang terefleksi sebagai kepentingan diri demi kepentingan yang lebih besar. Pada saat-saat tertentu ia akan berhenti sejenak dalam rutinitas dan melihat bermacam hal dalam sudut pandang lain. Maka sebenarnya pembeda utama bukan sekedar kemampuan self-command itu ada atau tidak, tetapi ‘skala’-nya. Mungkin bagi orang kebanyakan melanggar lampu lalu lintas adalah masalah tilang atau denda, tetapi bagi elit bisa jadi ia akan mengundurkan diri dari jabatan. Demikian juga dalam hal ujaran di ruang publik, misalnya.

Bertahun belakangan bahkan juga baru-baru ini, sayangnya kita sering tersajikan perilaku elit yang bisa dikatakan sebagai ‘tidak tahu batas’. Ke-tidak-tahu-batas jika itu terjadi di elit maka kita perlu khawatir. Mengapa? Ketika elit menjadi mudah terpeleset dalam moralitas yang ‘mere propriety’ itu atau ‘sekedar kepantasan’ seperti kebanyakan orang maka ia-pun menjadi sangat mungkin untuk tanpa sungkan lagi ikut dalam ‘perebutan pangan, sandang, papan’. Ikut perebutan tidak hanya bagi dirinya saja, tetapi juga bagi kelompok dekatnya. Padahal elit dalam hal ini adalah man behind the power. Cobalah kita bayangkan ungkapan man behind the gun, dan situasi dimana ia begitu labil-nya dengan tingkat pengendalian diri yang rendah. Senjata di tangan itu bisa-bisa menjadi begitu berbahayanya. *** (02-02-2019)

Ketika Elit Tidak Tahu Batas